Laman

Fitri Astuti Perbandingan Agama 3

Fitri Astuti Perbandingan Agama 3
Blog ini dibuat sebagai bahan pembelajaran saya pada Mata Kuliah Hinduisme

Rabu, 12 Desember 2012

Peta India Lama


Dalam menuntut sejarah India dari permulaannya teralah bagi kita betapa pentingnya sumber-sumber yang mengandung keterangan-keterangan, dugaan-dugaaan dan kepastian-kepastian tentang keadaan dan perjalanan masa di zaman dahulu, sumber-sumber itu bermacam-macam, isinya aneka warna dan acap kali sukar untuk menetapkan hal-hal yang terkandung didalamnya entah benar atau salah. Kesulitan lain bukan sedikit pula,impamanya tentang suatu peristiwa yang terdapat dalam beberapa sumber, akan tetapi tiap-tiap kali ada pertentangannya. Keterangan-keterangan yang tak berketentuan harus disusun dahulu, disaring dan dibandingkan apa tang benar dan apa yang merupakan angan-angan orang yang menulis saja. 
          Gangan pula dilupakan bahwa sumber-sumber yang mengandung keterangan-keterangan itu baru ditulis beratus-ratus tahun setelah peristiwa-peristiwa yang disebut terjadi. Kebanyakan dari kitab-kitab yang berisi riwayat bukan ditulis sengaja untuk peringatan bagi keturunan, melainkan dengan maksud lain.

Sumber : Buku India 
Gambar : Buku India; Sejarah Polotik dan pergerakan Lebangsaan

Perkembangan Agama Hindu


Agama Hindu tidak hanya terdapat di India, tetapi juga telah masuk ke Indonesia, bahkan sangat kuat pengaruhnya terutama di jawa. Kapan agama itu masuk ke Nusantara  tidak dapat diketahui secara pasti. Interprestasi terhadap penemuan kepurbakalaan, penibggalan karya tulis dan sebagainya, juga memberikan informasi tentang siapa  nama pembawa agama tersebut.

Ada beberapa bukti pengaruh agama Hindu dan kebudayaan India terhadap Indonesia dalam bidang sastra dan agama, seni bangunan dan adat kebiasaan yang ada disekitar kraton. Dari sini barang kali dapat dipahami bahwa masuknya pengaru tersebut bukan melalui kasta-kasta, tetapi oleh para Brahmana, karena merekalah yang berwenang membaca kitab suci dan mementukan peribadatan. Ajaran tentang samsara, karma, yang tidak terlepas dari ajaran kasta memungkinkan dugaan bahwa agama Hindu bukan agama dakwah dan tidak mencari pengikut. Yang sering menjadi persoalan adalah bagaimana pengaruh para Brahmana terhadap lingkungan kraton tersebut.

Dari penemuan prasasti dapaat diketahui bahwa perkembangan pengaruh agama Hindu di Indonesia tetap berpusat di sekitar kraton. Prasasti Kutai dari zaman raja Mulawarman menunjukkan bahwa korban sesaji oleh raja dilaksanakan dan diselenggarakan sesuai dengan ajaran kitab Manusmriti. 

Dapam perkembangan selanjutnya, selain pusat-pusat keagamaan di kraton, juga terdapat pusat-pusat keagamaan Hindu yang disebut Paguron atau Mandala atau Kasturi. Ditempat-tempat ini para pendeta memberikan pelajaran. Kitab-kitab yang ada pada waktu itu adalah kitab Tabtu Panggelaran, juga kitab nawaruci yang juga disebut kitab Tattwajnana.

Sumber: Buku Agama-Agama di Dunia karangan H. A. Mukti Ali

Kronologi Sejarah Agama Hindu


        I.      Pendahuluan

Mempelajari agama Hindu terasa mengalami kesulitan karena subjeknya yang sangat luas dan mencangkup sejarah yang sangat panjang apalagi agama tersebut memiliki ajaran yang tak terbatas.[1] Menurut R. Antoine, sngatlah sulit untuk mendefinisikan agama Hindu, karena agama Hindu bukanlah satu agama dengan syahadat tunggal yang harus dipatuhi oleh semua orang.

Ada dua unsur yang membuat elaborasi definisi menjadi sulit. Pertama, agama Hindu tidak memiliki seorang pendiri seperti dalam Budhisme, Kristen, dan Islam. Kedua, agama Hindu tidak memiliki otoritas yang merumuskan batas-batas dogma.

Sejarah kronologis agama Hindu dapat dibagi dalam empat macam masa[2], yakni :

1.      Masa Weda (1500 SM – 300 SM)
2.     Masa Klasik (300 SM – 1000 M)
3.     Masa Pertengahan (1000 M – 1800 M)
4.     Masa Modern (1800 M – 1947 M)

Sebelum beralih pada masa Weda itu, terlebih dahulu kita mengetahui Peradaban Sungai Indus. Peradaban yang terdahulu sekali dianggap mulai di daerah hulu Sungai Indus. Kira-kira 35 tahun yang lalu Jawatan Pemeriksaan Kebudayaan Kuno di India telah mengadakan penggalian dekat kampong Mohenjo Daro dan Harappa dipinggir sungai Indus.[3] Penggalian tanah itu menunjukkan bahwa[4]:
1.      Sebelum kedatangan bagsa Arya bangsa Dravida sudaah memiliki kota-kota besar, yang dibangun sesuai rencana dengan jalan-jalan besar, yang membujur dari utara keselatan, untuk memperlancar lalu lintas dari utara ke selatan.
2.     Mereka juga sudah bisa membuat kapal-kapal yang digunakan untuk berdagang dengan bangsa-bangsa lain.
3.     Mereka hidup dari pertanian dan mereka cinta damai.
4.     Masyarakat mereka bersifat matriakhal dan tidak mengenal kasta-kasta.
5.     Agamanya, mereka memuja seorang dewi tertinggi yang dianggap sebagai ibu alam.
          Dari penggalian tanah di Mohenjo Daro dan Harappa dapat diketahui bahwa bangsa Dravida adalah bangsa yang sudah memiliki suatu peradaban yang tinggi. Peradaban itu disebut peradaban Sungai Indus.

II.      Masa Weda (1500 SM – 300 SM)

Pada zaman ini kehidupan keagamaan orang Hindu didasarkan atas kitab-kitab yang disebut Weda Samhita, yang berarti pengumpulan Weda. Kata Weda berarti pengetahuan (Wid = tahu). [5]

Pada zaman ini di tandai dengan masuknya bangsa Arya ke India dengan membawa agama yang memuja serta mengambil hati para dewa yang melambangkan kekuatan-kekeuatan alam.[6] Bangsa Arya itu serumpun dengan bangsa German, Yunani dan Romawi. Mereka tergolong dalam apa yang kita sebut rumpun bangsa Indo-German.[7]

Di Bawah pengaru mentalitas religious lokal, sistem pemujaan kaum Arya berkembang menjadi dua aliran yang berbeda, yakni: yang ritualistik dan yang filosofis. Di satu pihak, pemujaan terhadap alam memberikan tempat bagi perkembangan ritual canggih yang berpusat pada berbagai macam upacara kurnam (yajna) dan hanya boleh dilakukan oleh pendeta-pendeta professional. Upacara kurban menjadi penting, karena pengucapan mantra secara tepat dapat membuka pintu kealam magis, dipihak lain sebagai reaksi terhadap tradisi ritualistic, aliran filosofis mencoba untuk menemukan kehadiran Roh atau kesadaran yang meliputi semua di balik pluralitas para dewa. Manifestasi Roh tersebut harus dicari di dalam kehidupan batin kesadaran manusia dan bukan di dalam upacara ritual. Pemujaan lama dan kedua perkembangannya dimasukkan kedalam Weda.

Dua dewa utama dalam kidung ig-Weda adalam Indra dan Agni, ini akan membantu kita memberikan kunci untuk memahami Rig-Weda. Dewa Indra, dalam aspek kosmisnya adalah pembebas dari air bah: dalam aspek duniawinya, ia adalah pahlawan yang memimpin kaum Aryan berkulit kuning langsat dalam mengalahkan kaum non-Aryan yang berkulit gelap. Indra juga dilihat sebagai penguasa alam svarloka, yakni dunia cahaya pikiran Ilahi. Kekuatan ada/eksistensi murni yang termanifestasi sebagai pikiran Ilahi. Dia turun kedunia kita sebagai pahlawan dengan kuda-kuda bersinar dan menghilangkan kegelapan serta perpecahan.

Api (Agni) merujuk pada wilayah domestic dimana ia memeprtahankan kesalehan. Dalam Weda, Agni adalah dewa yang paling penting serta paling universal. Dalam dunia fisik, dia adalah penelan serta penikmat yang umum. Dia juga merupakan pemurni, artinya ketika ia menelan atau menikmati, kemudian dia juga memurnikan. Agni juga merupakan apinya hidup dan menciptakan rasa dalam benda-benda. Jadi, segala daya dipastikan tindakannya hanya memalui dukungan Agni.

Dewa utama ketiga adalah soma, yakni dewa minuman yang menyegarkan. Dalam kitab Weda, soma adalah figure bagi kenikmatan Ilahi, prinsip kebahagiaan darimana eksistensi yang mempertahankan substansi. Dalam Taittirinya Upanishad, ananda dikatakan sebagai atmosfir eteris kenikmatan yang mutlak untuk mempertahankan keberadaan semua. Tanaman mistik soma menyimbolkan unsure di balik aktifitas indrawi dan kenikmatannya akan memberikan esensi Ilahi. Anggur soma menyimbolkan penggantian kenikmatan inderawi dengan kenikmatan ilahi. Substansi ini terjadi melalui transormasi tindakan dan pikiran kea rah yang ilahi. Jadi, soma adalah rajanya anggur kenikmatan, yakni anggur keabadian.

Ada banyak dewa yang bertugas di wilayah surgawi, udara dan bumi. Varuna misalnya adalah dewa yang mengesankan dan bertugas di wilayah surgawu; Indra di wilayah udara; dan Agni di wilayah bumi. Varuna merupakan personifikasi dari udara, terang serta gelap, dan kemudian lautan. Nama Varuna diturunkan dari akar “Vr” artinya meliputi, mencakup seperti langit. Karenanya dalam Rig-Weda dia adalah dewa yang meliputi atau mencakup semuanya. Varuna adalah Tuhannya kaum Aryan dan memiliki posisi yang mirip dengan Ahurnya pengikut Avesta. Varuna dianggap suci, maha baik dan masa pengampunan; dia mengampuni dosa-dosa pemujanya yang bertobat. Sebagai dewa maha pengampun, Varuna seringkali dibandingkan dengan Yahwe dalam Perjanjian Lama.

Agama Rig-Weda terdiri atas pemujaan (pemberian sesajen) pada berbagai dewa, yang seringkali dituangkan dalam api untuk dibawa kea lam dewata di wilayah surgawi. Peran ritual dalam agama Weda tidak dapat diremehkan. Karena diperkirakan bahwa hidupnya kembali teks-teks Weda mungkin disebabkan oleh penggunaannya dalam ritual.
      
       III.      Masa Klasik (300 SM-1000 M)

Spekulasi canggih serta mistisisme intelektual ternyata tidak dapat memuaskan aspirasi religious manusia biasa. Reaksi ini diikuti oleh spekulasi kelompok kecil arif bijaksana yang memisahkan diri dengan cirri-iri sebagai berikut :
1.      Penekanan pada moralitas, pengendalian diri dan kerja yang baik.
2.     Interpretasi yang rasional terhadap masalah kehidupan manusia.
3.     Penolakan terhadap ritualisme serta meghormati kehidupan dunia hewan.
4.     Kepercayaan terhadap Tuhan personal, kepada siapa manusia dapat memuja dan mempersembahkan devosinya.

Jika para pertapa dan arif bijaksana membimbing beberapa murid terpilih dalam menjalankan mistisisme metafisis, maka kasta Brahmana mengembangkan teks-teks ritual rumit yang dikenal sebagai sutra. Reaksi popular tercermin dalam gerakan-gerakan seperti: Budhisme, Jainisme, Shaivisme, dan Vaishnavisme.

Terdapat dua bentuk reaksi terhadap ritual kurban model Weda, yakni: eksternal dan Internal. Teks-teks Upanishad yang mengkritisi tradisi sebelumnya, namun masih tetap mendudukkan serta mengidentifikasikan diri dengan Weda. Namun, pada abad ke 6 SM, di India muncul dua gerakan utama yang mendudukkan diri mereka di luar kekolotan hukum Weda, yakni Budhisme dan Jainisme. Dalam menghadapi tantangan inilah Hinduisme lantas mulai meredefinisikan dirinya. Budhisme dan Jainisme memang menolak otoritas atau tradisi Weda, terutama mengenai komitmen terhadap tujuan serta kehidupan duniawi, institusi kasta dan tahap-tahap kehidupan, paling tidak sebagian, jika tidak seluruhnya. Hinduisme merumuskan dirinya dalam menghadapi tantangan ini, dengan menyatakan validitas Weda serta hukum kasta dan tahap-tahap hidup. Pada mulanya, gesakan Budhisme dan Jainisme menarik banyak perhatian prang dan menjadi kekuatan yang cukup besar. Jika kita elihat bukti-bukti arkeologis dari abad ke 2 SM, sampai abad ke 2 M, maka bukti menunjukan bahwa gelombang pasang sedang memihak pada Budhisme, dan sejumlah besar orang asing yang masuk ke India pada waktu itu juga menjadi pengikut Budhisme.

Namun lambat laun gelombang pasang tersebut berbalik. Pendirian dinasti Gupta di India Utara sekitar 300 M, memberikan tanda kebangkitan kembali Hinduisme. Pada abad ke 10. Hinduisme telah berhasil secara gemilang mendudukkan diri sebagai agama dominan di India.

Budhisme dan Jainisme

Bersama-sama dengan kaum Materialis, ketiga alitan ini disebut nastika, artinya tidak menerima otoritas Weda. Mereka juga dimasukan ke dalam golonga heterodoks (tidak ortodoks). Sedangakan ke enam aliran filsafat (Shad Darsana) yang disebut astika adalah yang menerima otoritas Weda dan disebut juga sebagai golongan ortodoks. Keduanya mengajarkan dikrtin etika yang menekankan kesucian kehidupan hewani, sehingga berada diluar jangkauan Hinduisme kolot, karena penolakan mereka terhadap Weda sebagai kitab suci.

Shaivisme dan Vaishnavisme

Kedua aliran ini merupakan gerakan teistik yang sulit dilacak asal-usulnya dan memainkan peran sangat penting dalam perkembangan Hinduisme berikutny. Shaivisme atau agama Shiva tampaknya mulai sekitar abad ke 6 SM, dengan menyembah dewa Rudra dalam kitab Weda. Namun segera dewa Rudra digantikan oleh Shiva yang merupakan dewa kaum non-Aryan.

Perkembangan agama pouler membentuk sebuah tantangan begi tradisi ritual Weda serta mistisisme metafisis awal. Untuk memenuhi tantangan ini, maka para ritualis dan metafisikawan mulai merumuskan fondasi rasional posisi mereka. Dari usaha untuk merasionalisasikan serta menyistematisasikan ini melahirkan berbagai system filsafat India. Ada enam system (Sad-darsana), yakni: Nyaya, Vaisheshika, Samkhya, Yoga, Purva-Mimamsa dan Vedanta.

        IV.      Masa Pertengahan (1000-1800 M)

Ciri utama masa ini menunjukkan fakta bahwa Islam memberikan sebuah konteks mendasar bagi perkembangan Hinduisme sebagai teks. Pendukung Alberuni, Mahmud Ghazni memimpin tujuh belas serangan yang gemilang ke India dan mematahkan perlawanan orang-orang Hindu dengan mudah. Dia lebih tertarik untuk menghancurkan kota-kota daripada membangun kerajaan. Pada tahun 1192, pengusaha utama Rajput di Utara dikalahkan dan dibunuh oleh Muhammad Ghuri, dan pada tahun 1200, dinasti Budak telah mendirikan aturan muslim di India Utara dan berakhir sampai 1858.

Hinduisme berkembang dengan baik, sampai kedatangan Islam, dalam mengakomodasikan, jika bukan menyerap semua tantangan dalam bentuk agresi dari luar dan perpecahan dari dalam. Islam memberikan pengaruh ganda bagi Hinduisme. Di satu pihak, Islam menganjurkan perpindahan agama; di pihak lain, islam mendorong kecendrungan yang lebih egaliter dan monoteistik bagi kaum Hindu. Kemudian muncul tokoh-tokoh yang berusaha untuk menjembatani jurang pemisah antara keduanya. Sebagai contoh adalah Kabir (abad ke 15), Guru Nanak (1469-1538), Dadu (1544-1603).

Kabir menulis sekumpulan kidung yang dikenal sebagai Bijak; Dadu, pengikut Kabir dan pendiri Parabrahmana-sampradaya, bermaksud menyatukan semua agama menjadi satu. Dia mengarahkan para pengikutnya untuk mengumpulkan semua teks devosional dari berbagai aliran menjadi satu kesimpulan. Tulsidas (1532-1623) adalah penulis teks Ramayana dalam versi bahasa Hindi (Rama-carita-manasa) dan Vinaya-pratrika; Guru Nanak (1469-1538) menulis teks suci kaum Sikh (Granth Sahib), yang berisi kidung-kidung yang ditulis oleh guru-guru mereka serta orang-orang religious lainnya, baik Hindu maupun Muslim.

Memang ada interaksi antara Islam mistis dan Hinduisme, namun ajaran utama Hinduisme menarik diri ke dalam kerang pelindung; dan secara mendasar berada dalam cengkeraman keputusasaan politik, sehingga berbalik kea rah penghiburan spiritual pada Tuhan. Hal ini terlihat dengan berkembangnya gaya hidup sebagai pertapa atau pengunduran diri dari kehidupan duniawi. Kehidupan sannyasin menjadi semacam pelarian diri, seperti yang dilihat dengan jelas oleh guru Nanak. Pada sekitar abad ke 16, ke ekstriman Hinduisme terlihat jelas dalam karya-karya puisi devosional dengan kualitas sensasional, yang gerakannya diwakili oleh Surdas, Tulsidas, Mirabai, dan lain-lain.

Gerakan Caitanya pada abad ke 15, yang menekankan pembacaan Weda secara umum, merupakan sebuah usaha untuk menghindarkan Hinduisme agar tidak menjadi agama rumah dan perapian saja. Gerakan devosional ini menekankan kekuatan penyelamatan dalam nama Tuhan-terutama Krishna dan Rama, sehingga berpuncak pada pernyataan paradox bahwa nama Tuhan adalah lebih besar dari Tuhan sendiri. Gerakan devosional ini dikatakan berasal dari India Selatan, dimana para deviti Wishnu dan Shiwa sudah mencapai puncaknya pada abad ke 9. Sekarang kita akan pindah kewilayah India Selatan.

Islam masuk ke wilayah India Selatan dengan disingkirkannya Deogiri oleh Malik Kafur pada 1307. Namun reaksi kaum Hindu di Selatan cukup menarik dan berbeda. Sejarah mencatat bahwa ketiga aliran utama Wedanta yang diwakili oleh Shankara (abad ke 9), Ramanuja (abad ke 12) dan Madhva (abad ke 13) muncul di Selatan. Walaupun pemikiran Ramanuja dan Madhva adalah lebih bersifat teistik, namun masih tetap mengikuti konsep filsafat Wedanta dan bukan hanya bersifat devosional saja. Wilayah selatan menunjukkan kekuatan serta vitalitas lebih besar, bukan hanya secara religious, namun juga secara politis. Hal ini disebabkan adanya kerajaan Vijayanagar yang berkuasa dari abad ke 14 sampai abad ke 17.

Gerakan devosional (bhakti) di Maharastra (wilayah Barat India) mengambil dua bentuk, yakni: varakari dan dharakari. Bentuk dharakari lebih bersifat aktif dan devosional, dimana salah satu tokohnya adalah Ramdas yang menjadi guru Shivaji (1627-1680). Dibawah kepemimpinan Shivaji inilah kerajaan Marathas menjadi sebuah kekuatan politik yang kuat dan menggantikan kekuatan Muslim di Selatan.Bentuk varakari melahirkan nama-nama besar penyair santo diwilayah Barat India, seperti Namadev dan Tukaram. Gerakan bhakti menyebar ke seluruh wilayah India serta menghasilkan penyair.

Ciri paling meninjol pada masa Muslim (1200-1757) ini adalah berkembangnya agama Wisnu. Dua nama besar dari Selatan adalah Vallabha (1479-1531) dari India Selatan dan Caitanya (1486-1533) dari wilayah Bengal. Keduanya mengajarkan jalan devosi yang berpusat pada Krishna dan Radha.

Pengaruh Islam dapat dilihat dari gerakan religious di India Utara dengan cirri monoteisme ketat, tanpa menghiraukan perbedaan kasta dan menolak pemujaan terhadap imaji (patung, gambar). Sebagai contoh adalah Kabir yang mengajarkan sebuah agama univetsal berdasarkan pada realisasi personal akan Tuhan yang tinggal di dalam hati manusia. Kemudian, Guru nanak (1469-1538) mendirikan agama Sikh (1469-1538) yang berusaha menyelaraskan Islam dan Hindu.

                              V.      Masa Modern (1800-1947)

Pengaruh kebudayaan Barat memberikan dampak menentukan bagi Hinduisme. Wakaupun Hinduisme popular dan tradisional tetap menguasaan masyarakat umum, nmaun orang-orang terpelajar sangat dipengaruhi ole hide-ide baru yang datang dari Barat. Rasionalisme dan Positivisme cukup memikat pikiran orang-orang yang tidak puas dengan Hinduisme tardisional. Berbagai gerakaan reformasi dimulai, dimana Brahma-Samaj, Arya-Samaj dan  Ramakrishna Mission merupakan gerakan yang paling penting. Secara umum dapat dikatakan bahwa hubungan dengan Barat telah membuat penganut Hinduisme lebih sadar akan keniscayaan untuk menyesuaikan diri dengan mentalitas modern.
Masuknya orang-orang Inggris sebagai penjajah membuat Hinduisme menghadapi situasi yang berbeda secara kualitatif. Masuknya penguasa Inggris mengurangi kekuataan Islam, namun Hinduisme harus menghadapi sebuah jejuasaan baru, yakni agama Kristen. Pada saan yang sama, Hinduisme dihadapkan dengan sebuah ancaman baru, yakni: sains, sekularisme dan humanism. Justru melalui inisiatif orang-orang Barat, pengetahuan tentang Hinduisme ditemukan kembali dan termasuk studi atas kitab Weda.Dampak bagi pengikut Hinduisme tampak dari pernyataan seorang tokoh nasionalis seperti Swami Vivekananda bahwa Max Muller yang mengedit Rig-Weda dimasa modern mungkin adalah reinkarnasi dari Sayana di masa kerajaan Vijayanagar.
Walaupun ada sejumlah unsure yang harus dipertimbangkan untuk menjelaskan kebangkitan kembali Hindu setelah tahun 1800, namun dari sisi Hindu sebagai sebuah system religious, orang harus mengenali peranan Weda dalam proses tersebut. Pada masa reormasi awal, justru isu tentang weda dan otoritas Weda muncul kembali ke permukaan. Tokoh reformasi Hindu pertama adalah Raja Rammohun Roy berusaha untuk membenarkan monoteisme yang berbasis Wedanta. Sekitar 1830, dia mendirikan gerakan Brahmo Samaj di wilayah Bengal untuk melanjutkan perjuangannya. Kemudian di akhir abad ke 19, Swami Dayananda Saraswati mendirikan gerakan Arya Samaj di Bombay, memperkuat keabsolutan Weda yang telah dicetuskan oleh gerakan Brahmo Samaj.
Menjelang akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20, perkembangan Hinduisme mengalami sebuah proses pembalikan. Pada perkembangan sebelumnya, tradisi Hinduisme memperkeras posisinya untuk mempertahankan otoritas Weda karena di bawah tekanan Bidhaisme, Jainisme dan Materialisme. Di masa modern, walaupun Hinduisme sekali lagi mendapat tekanan dari sumber Kristiani yang rasional, modernis dan reformis, Hinduisme tidak bereaksi dengan cara yang sama. Hinduisme sekarang meninggilan pengalaman religious diatas otoritas religious dan tidak lagi terikat pada otoritas Weda. Sri Ramakrishna kadangkala melakukan penolakan terhadap Weda dan hanya menggunakannya sebagai sebuah simbol.Kemudian Swami Vivekananda juga pada saat tertentu meremehkan otoritas Weda yang begitu kuat bagi kaum Hindu.
Hampir semua tokoh-tokoh religious dimasa Modern seperti B.G Tilak (1856-1920), R. Tagore (1861-1941), Sri Aurobindo (1872-1950), dan Mahatma Gandhi (1869-1948). Semuanya mengambil inspirasi mereka dari Weda, walaupun bukan dari otoritas Weda, dan bahkan Sri Ramana Maharshi mewajibkan pembacaan Weda secara teratur di Ashram Tiruvannaamalai.[8]


 VI.        Zaman Kemerdekaan India



Soal pertama yang harus dipecahkan setelah India dan Pakistan menjadi Negara merdeka dan berdaulat pada 15 Agustus 1947 ialah pembagian daerah dan pemindahan penduduk yang ingin atau yang dipaksa pindah dari Negara yang satu kenegara yang lain.
Pemindahan orang yang berjuta-juta itu dilaksanakn oleh pemerintahan India dan Pakistan yang dalam usaha itubekerja segiat-giatnya dengan bantuan organisasi-organisasi sosial dan amal dan pasukan sukarela. Disamping itu tentu ada juga pemindahan secara liar dan atas tanggungngan sendiri dan disinilah Nampak kegelisahan yang menyedihkan sekali.
Hingga bulan November 1947 pemerintahan India mempergunakan 673 buah kereta api yang mengangkat 2,8 juta orang pelarian dari daerah Negara Pakistan ke India, setengah juta orang diangkut dengan kendaraan militer, 30.000 dengan kapal udara. Rata-rata dapatlah dipindahkan 50.000 orang sehari. Akan tetapi bagian yang terbesar dari orang pelarian itu berjalan kaki, sebab mereka membawa barangnya.
Masa penyusunan Negara baru yang penuh kesukaran-kesukaran dan diberatkan lagi oleh pemindahan rakyat dari daerah-daerah yang diserahkan kepada Pakistan meminta kebijaksanaan yang luar biasa dari pemerintah. Di Delhi pergaduhan tidak terhambat lagi diantara kaum-kaum pelarian yang hendak membalas dendamnya atas golongan Muslimin, akan tetapi dengan usaha Mahatma Gandhi kegelisahan itu dapat diteduhkan dalam beberapa hari. [9]

Daftar Pustaka

      Ali, Matius. Filsafat India: Sebuah pengantar Hinduisme dan Budhisme, Tangerang: Sanggar Luxor. 2010
        Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988
        Hadiwijono, Harun. Agana Hindu dan Budha. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. 2008
        Honig, A. G. Ilmu Agama. Jakarta: Gunung Mulia. 1997
       Molia¸ G. India: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Balai Pustaka Jakarta. 1959





[1] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia ( Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h.55
[2] Matius Ali, Filsafat India: Sebuah pengantar Hinduisme dan Budhisme, (Tangerang: Sanggar Luxor, 2010), h. 16
[3] G. Molia¸ India: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan, (Jakarta: Balai Pustaka Jakarta, 1959), h. 318
[4] Harun Hadiwijono, Agana Hindu dan Budha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2008), h. 11
[5] Harun Hadiwijono, Agana Hindu dan Budha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2008), h. 17
[6] Matius Ali, Filsafat India: Sebuah pengantar Hinduisme dan Budhisme, (Tangerang: Sanggar Luxor, 2010), h. 17
[7] A.G. Honig, Ilmu Agama (Jakarta: Gunung Mulia, 1997), h. 79
[8] Matius Ali, Filsafat India: Sebuah pengantar Hinduisme dan Budhisme, (Tangerang: Sanggar Luxor, 2010), h. 19-28

[9] G. Molia¸ India: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan, (Jakarta: Balai Pustaka Jakarta, 1959), h. 318

Kerajaan dimana Hindu dan Budha menjadi agama Negara

         I.      Kerajaan Maurya

Kerajaan Maurya didirikan oleh Chandragupta. Kerajaan ini membentang dari Benggali hingga Hindu Kush, dan menyatukan seluruh daratan di India Utara. Chandragupta mengambil alih kekuasaan di Maghada pada 321 SM.[1] Perlu diketahui bahwa Maghada termaksud salah satu dari kerajaan-kerajaaan Arya. Kerajaan-kerajaan Arya yang terberita dimasa itu ialah Gandhara, Kosala, Kasi dan Maghada.

Raja-raja Maghada yang terkenal ialah Sisunaga (642 SM), Bimbisara (582 SM) dan Ajatasatru (554 SM). Bimbisara memperluas kerajaan Maghada dan menaklukan kerajaan-kerajaan yang dikelilinginya. Sejak abad ke 5 SM sejarah kerajaan Maghada tidak begitu terang lagi.

Salah seorang dari keturunan Bimbisara yang tidak begitu besar lagi kuasanya dibunuh dan diganti oleh mentrinya, bernama Mahapadma Nanda dari golongan Sudra. Raja itulah asal keluarga Nanda yang berketurunan 9 orang raja yang berturut-turut memerintah Maghada sampai tahun 322 SM. Pada tahun itu Nanda dibunuh oleh Chandragupta. Menurut dugaan adalah ia seorang keturunan Nanda juga, akan tetapi kawin dengan perempuan dari kasta rendah.

Dengan Chandragupta mulailah riwayat kerajaan-kerajaan di India terang dan dapat di tentukan. Diwaktu pemerintahan raja itu Maghada berhasil merebut kuasa yang seluas-luasnya. Akan tetapi terjadilah suatu peristiwa yang besar akibatnya untuk seluruh India, yaitu penyerbuan Iskandar Zul Karnain.

       Invansi Iskandar Zul Karnain

Iskandar Zul Karnain adalah seorang raja dan panglima besar Yunani yang mashur dalam sejarah Barat purbakala. [2] Misi Iskandar Zul Karnain untuk menguasai daerah dilatarbelakangi oleh keinginan dari ayahnya untuk menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di Yunani dan wilayah Asia. [3] Waktu masih muda ia mendapat pendidikan yang luas, bukan dalam keperajuritan saja, melainkan dalam ilmu filsafat. Gurunya ialah ahli filsafat Yunani yang mashur Aristoteles (384-322 SM).

Menurut berita Iskandar mula-mula tidak menghadapi perlawanan dalam negeri-negeri yang didudukinya. Di antara negri-negri yang terkenal ialah negri Takkashila (Texila). Ia menyebrangi hulu sungai dan memasuli Punjab. Ketika melalui sungai Jhilam, Iskandar menhadapi perlawanan hebat yang belum pernah dialami dalam tujuh tahun sejak ia menyerbu ke Asia. Tatkala sampai ditepi sungai jhilam, raja negri poros telah siap sedia menantikan kedatangannya. Semuanya membawa persenjataan lengkap. Namun kemudian raja Poros terpaksa menyerah karena banyak menelan korban dan luka-luka yang sangat parah.

Perjalanan pun kembali diteruskan, akan tetapi setelah tiba ditepi sungai Bias, bala tentaranya mogok danmenyatakan tidak sedia berperang lagi, melainkan hendak pulang kenegri Yunani yang sudah 7 tahun ditinggalkan mereka. Untuk memenuhi permintaan tentaranya, Iskandar memutuskansupaya perang di India segera diselesaikan pada saat itu juga. Sebelum kembali ke Yunani, Ia mendirikan 12 candi sebagai simbol peringatan dan ucapan terima kasih kepada dewa-dewa. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 326 SM.

India terlepas dari genggaman kerajaan Yunani saat Iskandar Zul Karnain meninggal. Tidak lama setelah Iskandar wafat kerajaan yang belum kokoh dan terpadu itu mulailah runtuh dan pecah. Bagian-bagiannya dikuasai oleh panglima-panglima perangnya. Dalam tiga tahun saja daerah-daerah India yang ditaklukan itu dapat merebut kemerdekaannya kembali. Dan dengan itu pula lenyaplah pengaruh penjajahan Yunani di India, sebab tidak berakar dalam hidup masyarakat dan lembaga-lembaganya. Iskandar seolah-olah dapat dibandingkan dengan suatu bintang berekor yang cermelang, menakjubkan dan menggemparkan sebentar, akan tetapi lenyap juga dengan tidak meninggalkan bekas-bekas apapun.

       Pemerintahan Raja-Raja Maurya

Sejak terdengar kabar wafatnya Iskandar, penduduk negri itu langsung bertindak merebut kemerdekaannya dengan di pimpin oleh Chandragupta. Sudah diterangkan di atas bahwa Chandragupta merupakan keturunan raja Nanda di Maghada, yang dibuang keluar negrinya dan lari ke India Utara.

Menurut cerita dari pihak kaum Jaina raja Chandragupta pada suatu waktu menarik diri dari pemerintahan dan menjadi pengikut Jaina, sesudah terjadinya kelaparan yang hamper 10 tahunlamanya sebab ia merasa berdosa terhadap rakyatnaya. Ia diganti oleh putranya Bindusara (298 – 272 SM).

Riwayat raja ini tidak begitu terang. Hal yang tentu ialah bahwa raja itu pertama kali memerangi bangsa-bangsa didaerah Deccan di India Tengah. Ia diganti oleh putranya yang kelak mendapat nama yang mashur dalam sejarah India, ialah Asoka (272 – 232 SM). Ia mengganti bapaknya ketika masih muda, akan tetapi penobatannya bari dirayakan empat tahun kemudian. Berlainan dengan nenek dan bapaknya ia ternyata seorang lemah lembut, peramah dan suka berbakti, setia kepada agama dan amat mengasihi rakyatnya.

Ditahun 249 SM atau 24 tahun semenjak Asoka menjadi raja, baginda mengunjungi semua tempat-tempat suci yang bersangkutan dengan hidup dan pengajaran Gautama Budha. Kota-kota itu ialah Kapilavastu (tempat lahir Budha), Sarnath dekat benares (tempat buda pertama kali menyebarkan agamanya), Sravasthi, Gaya (tempat pohon bodhi yang suci) dan Kusinegara (tempat wafatnya). Ditempat itu baginda member sedekah dan memnerikan tanda-tanda peringatan yang sampai sekarang amat berarti bagi ilmu sejarah.

Dengan resmi Asoka meninggalkan agama Barahma dan memeluk agama Budha. Kemudian baginda masuk bhiksu (reshi). Dari sikap ini teranglah bahwa agama Budha dizaman itu mendapat kedudukan sebagai agama kerajaan. Atas titah raja Asoka didirikan lebih kurang 48.000 buah stupa. Yang masih ketinggalan adlah stupa yang mashur di Sanchi (India Tengah), dekat ibu Negara provinsi yang dibawah pemerintahannya dulu. Untuk  anaknya putrid Charumati yang sungguh berbakti didirikan oleh raja beberapa Wihara atau asrama bagi kaum wanita, terutama dibagian Nepal. Diwaktu pemerintahan Asoka seluruh Indi dapat disatukan. Hanya bagian ujung Selatan dan sailan yang belum takluk kepadanya. Kepulauan Sailan dikirim utusan-utusan untuk mengajarkan ahama Buddha. Sejak itu dari pulai itu tiap-tiap tahun berates-ratus orang datang ziarah kedaerah Benares. Dari zaman Asoka sampai sekarang pulai Sailan adalah suatu pusat pertahanan agama Buddha. Dalam sejarah India belum pernah terdapat seorang raja yang begitu luas kerajaannya seperti Asoka.

Diatas telah dikatakan, bahwa Asoka dengan resmi memeluk agama Buddha. Akan tetepi rakyat pada umumnya masih setia kepada agama Hindu, yang sudah berakar teguh dalam masyarakat sejak purbakala. Pandit-pandit Brahma masih besar pengarunya kepada rakyat. Dalam keadaan demikian Asoka mengeluarkan amanat supaya diantara agama-agama dan mazhab-mazhab haruslah ada ikatan persaudaraan dan perdamaian, tiap-tiap agama merdeka dalam melakukan kebaktian dan mendapat perlindungan yang sama dari raja. Pendidikan masyarakat berdasarkan kepada pelajaran Buddha. Oleh sebab itu ia melarang membunuh yang berjiwa, baik manusia maupun hewan. Orang yang melanggar peraturan itu mendapatkan hukuman keras. Agama Buddha percaya bahwa manusia itu dalam hidupnya melalui beberapa tingkat dan menjelma tiap-tiap kali dalam suatu jenis makhluk. Penjelmaan itu ditentukan oleh karma, yang terdapat pada tiap-tiap manusia, yaitu hasil dari segala perbuatan yang baik atau buruk. Oleh karena itu manusia dan penjelmaannya tidak boleh dibunuh.

Dari segala-galanya nyatalah kemashuran Asoka sebagai raja yang bijaksana, beragama, berpendirian atas kemanusiaan dan yang mengakui hak-hak kemerdekaan dari semua agama. Mengingat kemashuran raja itu sudah tentu banyak sekali terdapat cerita-cerita, kepercayaan-kepercayaan yang ajaib tentang hidupnya dan yang masih terdengar sampai sekarang. Terutama di Sailan, pusat agama Buddha, ia menghormati sebagai seorang manusia yang telah mencapai penjelmaan Bodhisatwa.
Kerajaan Maurya rupanya dibawah pemerintahan Asoka sudah sampai kepada puncak yang setinggi-tingginya. Setelah wafat kaum Brahma yang merasa kedudukannya amat dibelakangkan ditengah-tengah masyarakat yang berdasar pada filsafat Buddha mengajar rakyat sepaya melawan raja Dasaratha, putra Asoka. Kerajaan Maurya mulai mundur dan terpisah-pisah. Akhirnya keturunan Asoka hanya dapat mempertahankan sebagian dari kerajaan yang luas itu.
Tahun 185  SM raja Maurya yang penghabisan Brihadrutha dibunuh oleh panglima perangnya Pushyamitra Sunga yang sengaja merebut kuasa dari tangan raja yang lemah itu untuk merebut kuasa dari tangan raja yang lemah itu untuk memperkuat pwerlawanan terhadap musuh yang mengancam dari sebelah Baktria dan Turkestan (bangsa Parthi).

Keturunan-keturuna Sunga memerintah 112 tahun lamanya. Mula-mula raja Kalinga yang ditaklukan oleh Asoka dapat merebut kerajaannya kembali, sehingga Pushyamitra terpaksa mengadakan perdamaian yang mengurangi kuasanya. Raja-raja sunga tidak begitu menyukai agama Buddha, mereka itu memihak kepada agama Brahma. Dalam pemerintahan Pushyamitra kebiasaan-kebiasaan Brahma dihidupkan lagi. Yang ajaib adalah pengorbanan kuda (asvamedha).

Raja Sunga penghabisan tidak berkuasa lagi, malainkan menjadi boneka saja dalam tangan mentrinya Vasudeva, tang akhirnya membunuh raja itu juga dan menjadi penggantinya. Keturunannya bernama Kanva. Raja-raja Kanva memerintah selama 45 tahun saja dan dig anti oleh raja-raja Ardhra, terdiri dari 30 turunan dan memerintah hamper 250 tahun lamanya, sampai tahun 225 SM.

  II.      Kerajaan Gupta

Dalam abad yang ke 4 mulailah cahaya bersinar kembali dalam sejarah India dengan timbulnya suatu kerajaan baru, yaitu kerajaan Gupta. Seorang raja dari daerah yang kecil dekat Pataliputra kawin dengan putrid Kumara-Dewi dari bangsa Lichchavi. Dengan perkawinanya ia mewarisi daerah-daera baru, sehingga ia menguasai seluruh lembah Gangga. Raja itu mengambil nama Chandragupta I, nama yang sudah termashur dizaman purbakala. Ia memerintah dari tahun 320-330 M dan diganti oleh putranya Samudragupta yang memrintah antara 330-375 M.
Raja ini terhitung salah satu yang termashur diantara raja-raja India. Berhubungan dengan peperangan-peperangan yang dilakukannya dan kemenengan-kemenangan yang diperolehnya ia dapat dibandingkan dengan Napoleon. Samudragupta adalah Brahmin yang setia kepada agama HinduTidak lama setelah raja itu dinobatkan ia mulai memerangi kerajaan-kerajaan yang terletak disekitar kerajaannya dan menaklukkan daerah yang dinamai sejak lama Hindustan dan kemudian daerah-daerah disebelah Utara.
Akan tetapi negri-negri yang diperangi itu tidak selurunya dapat dimasukkan dalam kerajaannya. Yang langsung dibawah pemerintahannya ialah daerah Hindustan, sebagaian dari India Utara dan India Tengah. Raja itu mengadakan perhubungan juga dengan Meghavarna, raja Sailan yang beragama Buddha. Salah satu dari hasil perhubungan itu ialah bahwa agama Buddha mendapat perlindungan dari Samudragupta dan raja itu memberikan izin untuk mendirikan suatu wihara dekat pohon Bodhi di Gaya. Akan tetapi raja itu tetap memperkuat pengaruh agama Hindu asli, misalnya dengan menghidupkan kembali pengorbanan kuda liar.
Dibawah pemerintahan putranya Chandragupta II Vikramaditya (375-415) kerajaan Gupta bertambah luas lagi. Keadaan kerajaan amat makmur dan sentosa, pemerintahan dijalankan dengan bijaksana selama 30 tahun dipegang oleh raja. Setelah raja wafat ditahun 415 kerajaan Gupta lambat laun mundur, terutama oleh karena desakan bangsa Huna dari Utara dan sikap raja-raja penggantinya yang tidak cakap. Diantara tahun 480-490 M, jadi 70 tahun sesudah Chandragupta II  wafat, kerajaan Gupta sudah mulai pecah belah. Keturunan Gupta tetap tinggal memerintah hingga abad ke 8 akan tetapi hanya sebagai raja-raja kecil saja di Maghada.[4]


  III.      Daftar Pustaka

Molia¸ G, India: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan, Jakarta: Balai Pustaka Jakarta, 1959
http://puspitaati.blogspot.com/



[1] http://puspitaati.blogspot.com/
[2] G. Molia¸ India: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan, (Jakarta: Balai Pustaka Jakarta, 1959), h. 25
[3] http://puspitaati.blogspot.com/
[4] G. Molia¸ India: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan, (Jakarta: Balai Pustaka Jakarta, 1959), h. 36-40