Laman

Fitri Astuti Perbandingan Agama 3

Fitri Astuti Perbandingan Agama 3
Blog ini dibuat sebagai bahan pembelajaran saya pada Mata Kuliah Hinduisme

Minggu, 17 Juni 2012

Hukum-Hukum yang Belum Disepakati

       I.            Pendahuluan
Ilmu ushul fiqh adalah suatu ilmu yang menguraikan tentang metode yang disepakati oleh para imam mujtahid dalam menggali dan menetapkan hukum syar’I dari nash. Dan berdasar nash pula mereka mengambil ‘illat yang menjadi landasan hukum serta mencari maslahat yang menjadi tujuan hukum syar’I, sebagaimana dijelaskan dan diisyaratkan oleh al-Qur’an maupun Sunnah nabi.
    II.            Istihsan
DEFINISI
            Istihsan (استحسان) menurut bahasa adalah menganggap sesuatu itu baik atau mencari yang baik.[1] Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh adalah penetapan hukun dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpangan itu. [2]
Qiyas berbeda dengan istihsan. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan ’illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan ’illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.
Dengan perkataan lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan ’illat dari dua peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.[3]

            MACAM-MACAM ISTIHSAN

A.    Mengutamakan qiyas khafi ( yang samar-samar) dari pada qiyas jalli ( yang jelas ) berdasarkan dalil.
Contohnya pada kasus tanah wakaf pertanian (sawah). Dilihat dari kacamata qiyas kewajiban mengairi tanah (sawah) tersebut tidak otomatis termasuk wakaf tanah pertanian tersebut, apalagi memang tidak disebutkan saat mewakafkannya. Alasannya karena qiyas zhohir, yaitu mengqiyaskan wakaf kepada jual beli dimanan apabila terjadi transaksi atas suatu barang maka terjadi pemindahan kepemilikan sesuai akad yang disepakatinya/ dikemukannya. Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan maka kewajiban mengairi tanah wakaf (sawah) masuk dalam akad wakaf. Alasannya mengalihkan/mengabaikan hasil qiyas zhohir mengambil hasil qiyas khofi. Karena tujuan dari wakaf tersebut adalah memanfaatkan hasil dari pertaniantersebut. Dan sawah itu tidak akan menghasilkan/mendatang-kan manfaat apabila tidak diairi.

B.     Mengecualikan hukum juz‟i ( bagian atau khusus ) dari pada hukum kulli ( umum).
Contohnya pada kasus Umar ra yang membatalkan hukum potong tangan seorang pencuri karena kejadiannya saat terjadi musim paceklik/kelaparan. Padahal ayat potong tangan itu cukup jelas (5/38). Juga pada jual beli salam. Berdasarkan dalil umum tidak boleh. Karena Nabi saw bersabda: ”Janganlah kamu menjual yang tidak kamu miliki” [HR. Ahmad ]. Namun karena ada dalil khusu maka jual beli salam dibolehkan. Sabda Nabi saw ”Siapa yang melakukan jual beli salam, maka harus jelas ukuran, timbangan dan watunya” [HR. Bukhori][4]

 III.            Mashalih Mursalah
Definisi
Kata tersusun dari dua kata yaitu al-mashlahah dan al-Mursalah. Kata al-Mashlahah dari kata  صَلَحَ= beres. Bentuk mashdarnya صَلْحا atau = keberesan, kemaslahatan. Yaitu sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Dan Kata mursalah, dari kata = mengutus. Bentuk isim maf'ulnya = diutus, dikirim, dipakai, dipergunakan. Perpaduan dari dua kata menjadi mashlahah mursalah, berarti prinsip kemaslahatan, kebaikan yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik atau bermanfaat.
Mashalih Mursalah adalah suatu kemaslahatan dimana Syar’i tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.
Untuk lebih jelasnya definisi tersebut, bahwasanya pembentukan hukum tidaklah dimaksudkan kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan orang banyak. Artinya, mendatangkan keuntungan bagi mereka, atau menolak mudharat, atau menghilangkan keberatan dari mereka, padahal sesungguhnya kemaslahatan manusia tidaklah terbatas bagian-bagiannya, tidak  terhingga individu-individunya, dan sesungguhnya kemaslahatan itu terus menerus muncul yang baru bersama terjadinya pembaharuan pada situasi dan kondisi manusia dan berkembang akibat perbedaan lingkungan. [5]
            MACAM-MACAM MASHLAHAH MURSALAH
A.    Dilihat dari sumbernya
1.      Kemashlahatan yang ditegaskan oleh Alqur‟an dan Al-Sunnah, yang disebut juga dengan mashlahah mu‟tabarah, kemashlahatan ini diakui oleh para ulama, misalnya hifdulmal, hifdun nafsi, hifdu nasal, hifdul aqli dll.
2.      Kemashlahatan yang bertentangan dengan nash yang qath‟i. Kebanyakan ulama menolak kemaslahatan yang bertentangan dengan nash yang qath‟I ini.
3.      Kemaslahatan yang tidal dinyatakan oleh syara dan tidak ada dalil yang menolaknya. Maka inilah yang dimaksud dengan mashlahah mursalah.

B.     Dilihat dari kepentingannya
1.      Mashlahah Dharuriyah, yaitu kemashlahatan yang apabila ditinggalkan akan menimbulkan kemadharatan dan kerusakan, karena itu mashlahah ini mesti ada terwujud. Ini kembali kepada yang lima; memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
2.      Maslahah Hajiyah, yaitu semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar (mashlahah dharuriyah), yang dibutuhkan juga oleh masyarakat tetap terwujud, dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan.
3.      Mashlahah Tahsiniyah, yaitu mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan tercakup pada bagian mahasinul akhlak. [6]

            KEHUJJAHAN MASHLAHAH MURSALAH
Jumhur ulama umat islam berpendapat, bahwasanya mashlahah mursalah adalah hujjah syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasanya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash, atau ijma’, atau qiyas, ataupun istihsan, disyariatkan padanya hukum yang dikehendaki ileh kemaslahatan umum. Pembentukan hukum tersebut atas dasar kemaslahatan ini tidak boleh ditangguhkan sampai ada bukti pengakuan dari syara’.[7]
Dalil mereka atas kehujjahan mashlahah mursalah ada dua hal, yaitu :
1.      Bahwasanya kemaslahatan umat manusia selalu baru dan tidak ada habis-habisnya.
2.      Bahwasanya orang yang meneliti pembentukan hukum oleh para sahabat, tabi’in, dan para imam mujtahid, maka ia akan merasa jelas bahwasanya mereka telah mensyariatkan berbagai hukum untuk merealisir kemaslahatan umum ini, bukan karena adanya dalil yang mengakuinya.

 IV.            ‘Urf
Definisi
Secara etimologi Urf berarti sesuatu yang dipandang baik, yang dapat diterima akal sehat. ‘Urf (tradisi) adalah bentuk-bentuk mu’amalah (hubungan kepentingan) yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung ditengah masyarakat. ‘Urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi meraka, baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau keadaan meninggalkan. Ia juga disebut : adat.[8]
Menurut kebanyakan ulama Urf dinamakan juga Adab, sebab perkara yang telah dikenal itu berulang kali dilakukan manusia. Para ulama ushul Fiqih membedakan antara Adat dengan Urf dalam kedudukannya sebagai dalil untuk menetapkan hukum syara. Adat didefinisikan dengan: Adat adalah sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional. Urf adalah sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dan diterima oleh tabiat yang baik serta telah dilakukan oleh penduduk sekitar Islam dengan ketentuan tidak bertentangan dengan nash syara.
            MACAM-MACAM ‘URF
            Urf dilihat dari obyeknya, dari cakupannya, dan dari keabsahannya.
Dari sisi obyeknya, Urf dapat dibagi pada dua macam yaitu:
1.         Al-Urf al-Lafdhi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafaz atau ungkapan tertentu. Apabila dalam memahami ungkapan perkataan diperlukan arti lain, maka itu bukanlah 'urf.
2.          Al-Urf al-Amali, adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan.

Dari sisi cakupannya, Urf terbagi kepada dua bagian, yaitu:
1.         Al-Urf al-„Aam yaitu kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah, seperti mandi dikolam
2.         Urf al-Khash, yaitu kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu.

            Dari sisi keabsahannya dalam pandangan syara‟. dapat dibagi pada dua bagian yaitu:
1.         Al-Urf al-Shahih adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertentangan dengan dalil syara‟, tiada menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, juga tidak membatalkan yang wajib.
2.         Al-Urf al-Fasid, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang, berlawanan dengan ketentuan syari‟at, karena membawa kepada menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib. [9]

KEHUJJAHAN ‘URF
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan.

Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’.
Imam Safi’i terkenal dengan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syarat nash maupun ketentuan umum nash.[10]

    V.            Istishhab
DEFINISI
Kata Istishab berasal dari kata suhbah artinya 'menemani' atau 'menyertai', atau al-mushahabah: menemani, juga istimrar al-suhbah; terus menemani. Menurut Istilah ilmu Ushul Qiqih yang dikemukakan Abdul Hamid Hakim: Istishab yaitu menetapkan hukum yang telah ada pada sejak semula tetap berlaku sampai sekarang karena tidak ada dalil yang merubah.
Apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum sebuah perjanjian atau suatu pengelolaan, dan ia tidak menemukan mash didalam Al-Quer’an atau sunnah, dan tidak pula menemukan dalil syar’i yang membicarakan hukumnya, maka ia emutuskan dengan kebolehan perjanjian atau pengelolaan tersebut berdasarkan atas kaidah : “sesungguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah dibolehkan”.[11]
            MACAM-MACAM ISTISHAB
            Istishab terbagi empat macam, yaitu :
1.         Istishab Al-Bara'ah al-Ashliyah. Istishab ini adalah terlepas dari tanggung jawab atau terlepas dari suatu hukum, sehingga ada dalil yang menunjukan.
2.         Istishab yang ditunjukkan oleh al-syar'u atau al-Aqlu. Yaitu sifat yang melekat pada suatu hukum, sampai ditetapkannya hukum yang berbeda dengan hukum itu.
3.         Istishab al-Hukmi / Dalil umum. Yaitu sesuatu yang telah ditetapkan dengan hukum mubah atau haram, maka hukum itu terus berlangsung sampai ada dalil yang mengharamkan yang asalnya mubah atau membolehkan yang asalnya haram. Dengan kata lain sampai adanya dalil yang mengkhususkan atau yang membatalkannya.
4.          Istishab Washfi. Seperti keadaan hidupnya seseorang dinisbahkan kepada orang yang hilang.
5.         Istishab hukum yang ditetapkan ijma' lalu terjadi perselisihan. Istishab seperti ini diperselisihkan ulama tentang kehujahannya.
KEHUJJAHAN ISTISHAB
       Istishab merupakan akhir dalil syar’I yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena inilah, maka para ahli ilmu ushul fiqh berkata: “sesungguhnya istishab merupakan akhir temapt beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya”[12]
 VI.            Syar’u man Qoblana
DEFINISI
Syar’u man qablana artinya syariat sebelum Islam. Para ulama sepakat mengatakan bahwa semua syariat yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh syari’at Islam. Pembatalan itu secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hukum-hukum syari’at sebelum Islam yang masih berlaku dalam syari’at Islam seperti ; beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukuman qishash dan hukuman bagi orang yang melakukan tindak pidana pencurian.[13]
Pada pembahasan ini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan syar’u man qablana adalah Segala apa yang dinukilkan kepada kita dari hukum-hukum syara‟ yang telah disyaratkan Allah swt. bagi umat-umat dahulu melalui nabi-nabinya yang diutus kepada umat itu seperti Nabi Ibrahiem, Nabi Musa, dan Nabi Isya as.”
PEMBAGIAN SYAR’UN MAN QABLANA
1.      Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syariat kita (dimansukh)
Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
2.      Ajaran yang ditetapkan oleh syariat kita.
Contoh : Perintah menjalankan puasa.
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡڪُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِڪُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, sepaya kamu bertakwa” (Al-Baqarah : 183)
3.      Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita.
a.       Yang diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur’an atau as-Sunnah, tetapi tidak tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kita.
b.      Yang tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syari’at kita.[14]
KEDUDUKAN SYAR’U MAN QOBLANA
Sesungguhnya syari’at-syari’at (agama) samawi secara prinsipil adalah satu. Allah SWT berfirman : “Dia telah mendyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan jannganlah kamu berpecah-pecah belah didalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang dikehendaki kepada agama Tauhid dan memberikan petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).”[15]
Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum kita (umat Islam) dengan datangnya syariat Islamiyah dan sebagian lagi hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku, seperti qishash.[16]
VII.            Madzhab Shohabi
DEFINISI
Ada pengertian yang menjelaskan tentang Qaul Shahabi, yaitu: Yang dimaksud dengan Qaul al-Shahaby (Mazdhab Shahaby) adalah pendapat-pendapat para shahabat dalam masalah ijtihad.
Dengan kata lain Qaul shahabi adalah pendapat para shahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, yang tidak dijelaskan dalam ayat atau hadis.
Yang dimaksud dengan shahabat menurut ulama ushul fiqih adalah seseorang yang bertemu dengan Rasulullah saw. beriman kepadanya, mengikuti serta hidup bersamanya, dalam waktu yang panjang, serta dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah saw.[17]
            KEHUJJAHAN MADZHAB SHOHABI
Pendapat Shahabat tidak menjadi hujjah atas Shahabat lainnya. Hal ini telah disepakati. Namun yang masih diperselisihkan ialah, apakah pendapat Shahabat bisa menjadi hujjah atas Tabi’n. Ulama ushul memiliki tiga pendapat, di antaranya adalah :
1.      Satu pendapat mengatakan bahwa Madzhab Shahabat dapat menjadi hujjah. Pendapat ini berasal dari Imam Maliki, Abu Baker Ar-Razi, Abu Said shahabat Imam Abu Hanifah, begitu juga Imam Syafi dalam Madzhab Qadimnya, termasuk juga Imam Ahmad Bin Hanbal dalam salah satu riwayat.
2.      Satu pendapat mengatakan bahwa Madzhab Shahabat secara mutlak tidak dapat menjadi hujjah/dasar hukum. Pendapat ini berasal dari jumhur Asyariyah dan Mu’tazilah, Imam Syafi’i dalam madzhabnya yang jadid juga Abul Hasan Al-Kharha dari golongan Hanafiyah.
3.      Ulama Hanafiyah, Imam Malik, Qaul Qadim Imam Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad Bin Hanbal, menyatakan bahwa pendapat Shahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat shahabat bertentangan dengan qiyas maka pendapat Shahabat didahulukan.[18]
VIII.            Saddu Dzara’i
DEFINISI
Dari segi etimologi, dzara’i berarti wasilah (perantaraan).[19] Dengan kata lain, dzariah adalah washilah yang menyampaikan kepada tujuan, atau jalan untuk sampai kepada yang diharamkam atau yang dihalalkan. Jalan yang menyampaikan kepada haram hukumnya haram pula, dan jalan yang menyampaikan kepada haram hukumnya haram pula, jalan kepada wajib, wajib pula.[20]
            MACAM-MACAM SADDU DZARA’I
1.      Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal usul keturunan.
2.      Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-tahlil). Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang mengakibatkan muncul unsur riba.
3.      Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.
4.      Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim. [21]
KEHUJJAHAN SADDU DZARA’I
1.      Berdasarkan al-Qur’an
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقُولُواْ رَٲعِنَا وَقُولُواْ ٱنظُرۡنَا وَٱسۡمَعُواْ‌ۗ وَلِلۡڪَـٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ۬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakana (kepada Muhammad) raa’ina’, tetapi katakanlah ‘unzhurna’, dan dengarlah.” (QS. Al-Baqarah : 104)[22]
Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa ‘ina (رَاعِنَا) berarti: “Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah SAW. Mereka menggunakannya dengan maksud kata raa’inan (رَعِنًا) sebagai bentuk isim fail dari masdar kata  ru’unah (رُعُوْنَة) yang berarti bodoh atau tolol. Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata raa’ina yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama dengan raa’ina. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd adz-dzari’ah.[23]
2.      Hadits-hadits Nabi
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.”













































DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad, Ushul al-Fiqh, Dar Fikr al-Arabi, 1958.
Umam, Chaerul, Ushul Fiqih 1, Pustaka Setia, Bandung, 2000.
Wahab Khalaf, Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, DDII, Jakarta, 1972.












[1] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), h. 110
[2] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 401
[3] Abatasa.com | http://pustaka.abatasa.com
[4] http://rismaalqomar.wordpress.com/2010/03/05/sumber-hukum-islam-istihsan/
[5] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), h. 116
[6] http://www.scribd.com/ffakhri_1/d/51198325/87-Macam-macam-Istihsan
[7] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), h. 117
[8] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), h. 123
[9] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 418
[10] http://islamwiki.blogspot.com/2009/01/urf.html
[11] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), h. 127
[12] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), h. 128
[13] http://dyen-syafitrimm.blogspot.com/p/makalah-syaru-man-qablana.html
[14] http://sriastuti069.wordpress.com/2009/10/17/syaru-man-qablana/
[15] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 464
[16] http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih
[17] http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih

[18] Chaerul Umam DKK, Ushul Fiqih 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 181
[19] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 438
[20] http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih

[21] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 442
[22] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 440
[23] http://racheedus.wordpress.com/makalahku/makalah-nyoba/