Laman

Fitri Astuti Perbandingan Agama 3

Fitri Astuti Perbandingan Agama 3
Blog ini dibuat sebagai bahan pembelajaran saya pada Mata Kuliah Hinduisme

Rabu, 07 November 2012

Kunpulan Makalah


SEKTE-SEKTE DALAM AGAMA HINDU
Annisa Fachraddiena
1111032100036
I.            Pendahuluan
          Tuhan Yang Maha Esa adalah Brahman, merupakan asal dari semua yang adayang pernah ada dan yang akan ada, baik yang bersifat nyata (sekala) amaupun yang sersifat tidak nyata (niskala). Alam semesta jagad raya ini adalah ciptaan Tuhan, sebagai wujud nyata akan kemaha beradaan Tuhan. Alam semesta jagad raya ini sangat luas bahkan tiada ujung akhir dan pangkalnya, namun ada di dalam Tuhan. Sejauh-jauh kita memandang, sejauh apapun kita menghayalkan tentang luasnyaalam semesta ini, masih tetap tak terbayangkan. Dilangit kita melihat bintang dengan ggugusannya, diatas bintang masih ada langit dengan gugusan bintang-bintangnya. Miliaran bintang baik yang terlihat maupun yang tidak dapat dilihat, galaksi yang nampak sebagai gugusan bintang-bintang,  dan planet-planet yang mengorbit pada masing-masing bintang atau tata surya itu tidak terlihat karena jaraknya yang sangat jauh. Alam semesta yang penuh rahasia dengan luas yang tiada batasnya ini mengandung rahasia Ilahi yang tak terjangkau oleh alam pikir manusia, walau dibantu dengan tehnologi secanggih apapun. Demikian maha agung dan maha luasnya alam semesta jagad raya ini sebagai wujud nyata adanya Sang Pencipta Yang Maha Agung yang menciptakan segala yang ada di alam semesta ini.
          Setelah memahami kemaha agungan Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya bagaimana metode mendekatkan diri kehadapan-Nya, sehingga keberadaan Tuhan betul-betul dirasakan dan rasa sujud bakti selalu menggema dalam diri. Banyak jalan yang ditempuh oleh umat manusia untuk melakukan pendekatan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Banyak agama dengan sekte-sektenya dan aliran kepercayaan yang mengajarakan berbagai cara untuk umat manusia mendekatkan diri dan menempuh jalan ketuhanan. Secara bersama-sama dalm kelompoknya sebagai kelompok masyarakat, agama, sekte maupun aliran kepercayaan melakukan kegiatan ritual keagamaan dalam berbagai jenis acara dan upacara. Seperti dalan agama Hundu muncul beberapa Sekte yang dikenal dengan Sekte Bhakti, Sekte Wisnu, Sekte Siwa, Sekte Sakti  

II.         Sekte-sekte dalam Agama Hindu

    a.    Sekte Bhakti

Sekitar tahun 500 SM, muncul beberapa kecenderungan “pemujaan”, pelayanan atau kebaktian yang mencakup pengertian percaya, taat dan berserah diri kepada dewa. Pemujaan dan kebaktian kepada dewa itu dinyatakan dalam puja yang perwujudannya kadang-kadang dinyatakan dengan mempersembahkan berbagai macam buah-buahan dan bunga-bungaan kepada para dewa disertai dengan penyelenggaraan upacara mengitari kuil-kuil tertentu. Puja dan bhakti tersebut dilakukan dengan hidmat dan sikap badan tertentu, seperti sikap merebahkan dan meniarapkan diri di dekat patung yang terdapat dalam kuil atau tempat-tempat yang dianggap suci lainnya sambil mengucapkan beberapa doa.[1]
Urain tentang bhakti terdapat dalam kitab Narada Bhakti Sutra dan Shadilya Sutra. Kitab ini banyak membicarakan wawasan keagamaan pada sekte bhakti yang terdapat di India. Menurut sutra-sutra tadi, bhakti bukannya merupakan suatu “pengetahuan” dan juga bukan merupakan “perbuatan ritus”, juga bukan merupakan “sistem keagamaan”, tetapi merupakan kasih sayang, ketaatan, kepatuhan dan penyerahan diri kepada sesuatu. Bhakti adalah “pasrah” setulus-tulusnya (prapatti) bukan kepada suatu objek yang bersifat duniawi tetapi hanya kepada “dewa” semata dengan segenap avatara atau ingkarnasinya. Karena itu barang kali ada benarnya kalau dari pengertian di atas dikatakan bahwa bhakti lebih tinggi daripada meditasi falsafi.[2]
Wujud bhakti memiliki jenjang istilah maupun sikap sebagai tatakrama mewujudkan rasa bhakti yang beretika. Istilah bhakti itu diantaranya:[3]
Menghormati adalah pencetus bhakti terhadap semua makhluk, terhadap semua ciptaan Tuhan baik yang nyata maupun tidak nyata. Kita patut saling hornat menghormati sesama makhluk hidup, sesama ciptaan Tuhan yang mana masing-masing ciptaan-Nya itu telah memiliki hukumnya masing-masingyang seharusnya berjalan selaras dengan perputaran roda hukumnya masing-masing.
Memuja adalah wujud bhakti dalam bentuk lamtunan puji-pujian yang ditujukan kepada kebesaran Tuhan baik dalam bentuk manifestasi-Nya atau sifat-sifat ketuhananyang memberi berkah-Nya pada kebutuhan hidup ini. Puji-pujian yang dikidungkan dalam pemujaan adalah untuk ymenyenangkan yang dipuja, mewujudkan rasa senang dan rasa tenang dalam kebahagiaan.
Berdoa adalah wujud bhakti yang dilakukan dalam menyampaikan permohonan kehadapan-Nya. Atas ketidak mampuan dan keterbatasan kita wajib berdoa agar diberkati dan diampunu segala dosa serta kekurangan- kekurangan kita.berdoa adalah sebagai wujud rendah hati, sebagai wujud  kesadaran akan keterbatasan kita sebagai manusia.
Menyembah adalah bentuk bhakti sebagai penyerahan diri yang dilakukan dengan tulus dan penuh kepasrahan terhadap kemaha agungan Tuhan.

   b.    Sekte Wisnu

Sekte ini lebih mmengutamakan pemujaan kepada dewa Wisnu karena dewa ini sangat sympatik bagi mereka dengan sifat-sifatnya yang berdasar pada perasaan  bhakti (cinta).
Pandangan pengikutnya antara lain menyatakan bahwa kebaikan Wisnu dengan Bhaktinya ialah yang dapat memberikan jaminan kedamaian hidup bagi uumat pemujanya, karena itu cukuplah bagi pengikut-pengikutnya untuk menyerahkan diri saja kepada-Nya.
Sikap penyerahan diri kepada-Nya akan membawa mereka kepada Nirwana. Segala kebaikan bhakti Wisnu itu dilukiskan dengan panjang lebar dalam sucinya yaitu kitab Purana
Didalam kitab tersebut diceritakan bagaimana manifestasi can kebaikan bhakti Wisnu dalam usahanya menolong ummat manusia dari segala bentuk kehancuran dan kejahatan. Dengan jelma (melakukan avatara) menjadi berbagai makhluk ajaib dalam 10 rupa, maka kehancuran dan kejahatan dapat dihindari.
Kesepuluh avatara tersebut adalah:[4]
(1)  Matsyavatara, berupa ikan besar untuk menolong manusia pada saat banjir besar melanda dunia yang akan menenggelamkannya.
(2) Kurnavatara, sebagai kura-kura untuk menolong dewa-dewa pada waktu mengaduk samudera guna mendapatkan air amerta (air hidup) yakni air yang bilamana diminum orang akan mengalami hidup kekal abadi.
(3) Narashimha, sebagai singa yang berbadan manusia yang membunuh raksasa yang tidak bisa dibunuh olehsiapapun.
(4) Varahavatara, sebagai babi rusa yang menolong manusia dengan menggigit bumi yang pada saat itu akan dibawa karpatala (neraka dibawah bumi) oleh musuh-musuh manusia.
(5) Vamanavatara, sebagai oarang cebol yang dapat mengalahkan cucu raksasa yang bernama Narashinka. Cucu raksasa tersebut bernama Bali (Daitya Bali)
(6) Budhavatara, sebagai budha yang bertugas melemahkan musuh-musuh dewa yang menyebarkan ilmu palsu.
(7) Parasuramvatara, sebagai kesatrya yang bersenjatakan parasu ( kampak) membunuh beberapa kesatrya yang menghina ayahnya, sebagai pembalasan atas penghinaan tersebut.
(8) Ramavatara, rama sebagai kesatrya, anak Dasarata yang dibuang kehutan belantara, dimana ia kehilangan isterinya Shinta, karena perbuatan Dasamuka (Rahmana) yang berwatak rakus dan yang menganiaya ummat manusia. Akhirnya Rama dapat membunuh Rahwana serta dapat merebut kembali isterinya, (cerita tentang Rama tersebut diuraikan dalam kitab Ramayana).
(9) Kalkiavara, sebagai Kalki ( Ratu Adil) yang dapat mmententramkan dunia yang mengalami kekacauan akibat perbuatan makhluk-makhluk jahat di dunia.
(10)Kresnavatara, sebagai Kresna yang kemudian membunuh Raja Kamsa (seorang raja Mathura kemenakan Kresna).
Semua avatara Wisnu tersebut merupakan salah satu gambaran simbolis yang mencerminkantentang kebenaran kepercayaan Wisnuisme kepada adanya “juru selamat” di dunia dan manusia dari kehancuran hidupnya.
Wisnu biasanya dibedakan menjadi 4 sampradaya pokok atau sekte, diantaranya yang sangat kuno adalah Sri Sampradaya yang diperkenalkan oleh Ramanuja Acarya, kira-kira pertengahan abad ke-12. Para Pengikut Ramanuja memuliakan Wisnu dan Laksmi beserta inkarnasinya, mereka disebut pengikut Ramanuja atau Sri Sanpradayin atau Sri Waisnawa.[5]

     c.    Sekte Siwa

Penganut Hindu dari sekte Siwa meyakini Tuhan adalah Siwa. Salah satu bentuk pemujaan Siwa yang dilakukan oleh pada Pendeta Siwa adalah dengan mengucapkan mantra yang disebut sebagai Mantra Catur Dasa Siwa, yakni empat belas wujud Siwa.[6]
Mantra ini digunakan untuk mendapat pengaruh ke-Tuhan-an yang kuat dan suci serta untuk mendapat kebahagian sekala-niskala.
Mantra itu sebagai berikut:
  1. Om Ang Prasada Kala Siwaya namah
  2. Om Ang Stiti Kala Siwaya namah
  3. Om Ang Kala-kutha Siwaya namah
  4. Om Ang Maha-suksma Siwaya namah
  5. Om Ang Suksma Siwaya namah
  6. Om Ang Anta-kala Siwaya namah
  7. Om Ang Adhi-kala Siwaya namah
  8. Om Ang Parama Siwaya namah
  9. Om Ang Ati–suksma Siwaya namah
  10. Om Ang Suksma-tara Siwaya namah
  11. Om Ang Suksma-tama Siwaya namah
  12. Om Ang Sada Siwaya namah
  13. Om Ang Parama Siwaya namah
  14. Om Ang Sunia Siwaya namah
Pendeta Siwa yang mengucapkan dan meresapkan Mantra Catur Dasa Siwa ingin mendudukkan Siwa dalam tubuh/ dirinya mulai dari bagian bawah tubuh sampai ke bagian atas tubuh, yakni:
  1. Mantra nomor 1 untuk kaki kanan
  2. Mantra nomor 2 untuk kaki kiri
  3. Mantra nomor 3 untuk perut
  4. Mantra nomor 4 untuk pusar
  5. Mantra nomor 5 untuk hati
  6. Mantra nomor 6 untuk tangan kanan
  7. Mantra nomor 7 untuk tangan kiri
  8. Mantra nomor 8 untuk mata kanan
  9. Mantra nomor 9 untuk mata kiri
  10. Mantra nomor 10 untuk telinga kanan
  11. Mantra nomor 11 untuk telinga kiri
  12. Mantra nomor 12 untuk sela-sela alis
  13. Mantra nomor 13 untuk ujung hidung
  14. Mantra nomor 14 untuk ubun-ubun
Pemeluk-pemeluk aliran ini sangat optimis terhadap kebulatan kekuasaan dewa Siwa ini, karena ia dipercayai dapat menjelma menjadi berbagai bentuk kedewataan yang menggambarkan akan kekuasaannya yang besar. Kekuasaannya meliputi: penentuan hidup dan matinya manusia dan kekuasaannya adalah yang tertinggi diantara dewa-dewa.
Pada masa permulaan Agama Hindu, Siwa tidak pernah dipuji orang sebagaimana halnya Wisnu. Sebagai tanda kekuasaannya dewa ini digambarkan secara fantastis dengan tangan empat. Bilamana ia sedang menjadi Siwa Maha Dewa (Maheswara) maka tak ada dewa atupun yang dapat mengalahkan kekuasaannya. Bilamana ia sedang menjelma menjadi dewa Maha Guru maka Siwa adalah sebagai oarang tua berjanggut yang saleh dan suka membimbing manusia ke arah hidup bahagia. Sebagai ciri watak-wataknya sebagai guru, dia disimbulkan dalam bentuk orang yang membawa kendi, sapu lalat (cemara) dan tasbih ( akshamala). Tetapi bilamana ia sedang menjelma menjadi Mahakala, maka watak serta sikapnya dilukiskan sebagai raksasa yang buas merusak apa yang dikehendaki dan kejam. Oleh karena itu sebagai tanda pada Kroda (amarahnya) diberi simbol Parasu (Kanpak), Trisula (lembing dengan tiga mata). Dan Fesu (jaring).[7]
Jadi keistimewaan Dewa Siwa ini adalah dapat mempunyai watak/sifat-sifat pribadi yang satu sama lain kadang-kadang berlawanan. Dalam pemujaan-pemujaan demikian mereka memberikan korban-korban dan saji-sajian setiap waktu tertentu dibawah pimpinan pendeta-pendetanya.

    d.    Sekte Sakti

Sebenarnya aliran ini masih dapat dimasukkan sebagai bagian dari aliran Siwa, tetapi karena yang disembah dan dipuji bukan lagi Siwa melainkan saktinya dalam bentuk Darga, dan karena lebih luasdan lebih mendalam, maka lebih tepat kalau dianggap sebagai salah satu aliran keagamaan tersendiri dalam agama Hindu. Sakti adalah kekuatan, prinsip aktif yang menyebabkan Siwa mampu menciptakan. Tanpa Sakti tersebut Siwa tidak akan dapat berbuat apa-apa karena Siwa adalah prinsip pasif. Karena itu Sakti menjadi lebih penting daripada Siwa sendiri. Segala sesuatu terjadi karena bersatunya prinsip pasif dengan prinsip aktif. Yaitu persatuan Siwa dengan Saktinya, Durga.[8]
Persatuan antara Siwa dan Saktinyaadalah persatuan antara laki-laki dan perempuan, yang dilambangkan sebagai Linga dan Yoni. Karena itu hubungan seks mempunyai arti yang ssangat penting dalam sekte Sakti ini. Karena segala sesuatu tercipta melalui persatuan tersebut, maka egala sesuatau mengandung kekuatan dan Sakti Siwa. Bentuk-bentuk tertentu dari Sakti dan segala sesuatu adalah baik; tidak ada yang tidak baik. Hanya orang yang tidak mengerti saja yang beranggapan bahwa ada yang baik dan ada yang tidak baik. Ini keliru, karena anggapan itu hanya didasarkan pada kesadaran manusia sendiri. Untuk mencapai kebenaran dan kelepasan (moksa) manusia harus melepaskan diri dari belenggu kekeliruan ini. Ia harus melepaskan kesadarannya sendiri sehingga dapat menyadari kebenaran bahwa segala sesuatuadalah perwujudan dari Sakti dan Siwa, dan bahwa semua adalah baik.[9]

   e.    Sekte Tantra

Aliran ini dalan usaha mencapai Nirwana lebih mementingkan cara penbacaan manter-mantera rahasia dan membebaskan ruang gerak hawa nafsu. Dalam kitab Tantrisme yang disebut kitab “AGAMA” dan “TANTRA” dinyatakan bahwa “Hendaknya manusia jangan mengekang hawa nafsunya tetapi sebaliknya hawa nafsu harus dibebaskan dan diberi kepuasan. Dengan demikian, maka jiwa manusia menjadi merdeka dari segala tekanan-tekanan psikisnya”.
Cara-cara yang ditempuh ialah menjalankan 5 (lima) “ma” yang terdiri dari Matsya: makan ikan sebanyak-banyaknya. Mada: meminum tuak sebanyak mungkin. Mansa: makan daging sebanyak-banyaknya. Mudra: makan sejenis nasi (padi-padian) sebanyak-banyaknya. Akhirnya Mauethua: melepaskan nafsu birahi sebanyak-banyaknya dengan wanita.[10]
Dengan kepuasan nafsu tersebut, manusia dapat melepaskan diri dari samsara. Adapun sistem ajaran Tantrayana tersebut diberikan dalam bentuk percakapan antara Siwa dengan Durga (isteri Siwa).


III.      Kesimpulan

Sebagai yang terdapat dalam agama-agama besar lainnya, dalam agama hindi juga terdapat aliran-aliran atau Sekte-sekte yang masing-masing mempunyai konsep tersendiri dalam nenanggapi beberapa segi ajaran agama yang dipandang lebih penting daripada ajaran pokoknya.

Daftar Pustaka

Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. Cet ke- I 1988.
Arifin. Menguak Misteri Alaran Agama-agama Besar.
Madra, I Ketut. Tuhan Siva dan Pemujaannya. Surabaya: Paramita, 2007
Parbasana, I Noman. Panca Sradha: Sebagai Dasar Kepercayaan yang Universal. Denpasar: Widya Dharma, 2009
Sivananda, Sri Swami. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya: Paramita, 2003




[1] H.A. Mukti Ali.  Agama-agama dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) h. 76
[2] Ibid., hal., 76
[3] I Nyoman Parbasan. Panca sradha: Sebagai Dasar Kepercayaan (Denpasar: Widya Dharma, 2009) h. 65
[4] Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986) h. 84
[5] Sri Swami Siwanada. Intisari ajaran hindu (Surabaya: PARAMITA, 2003) h. 144
[7] Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1086) h. 86
[8] H.A. Mukti Ali.  Agama-agama dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) h. 85
[9] H.A. Mukti Ali.  Agama-agama dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) h. 85
[10] Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: PT. Golden Trayon Press) h. 88

Kronologi Sejarah Agama Hindu

PERIODISASI SEJARAH AGAMA HINDU
Ida zubaedah
(1111032100032)

Pendahuluan

Agama Hindun timbul dari dua arus utama yang membentuknya, yaitu agama (bangsa) Dravida danaagama(bangsa)Arya.dalamperkembangannya di India lalu ada usaha-usaha yang mempesonahkan untuk memasukan berbagai macam kepercayaan yang ada, filsafatnya, dan praktek-praktek keagamaannya dalam suatu sistem yang sekarang ini disebut dengan Agama Hindu.

Agama bangsa Arya kita kenal dari kitab-kitabnya yang mengenai agamanya, yakni kitab-kitab Weda (Weda artinya tahu). Oleh karena itu masa yang tertua dari agama Hindu disebut masa Weda. Dalam tulisan kali ini penulis ingin sedikit memaparkan tentang zaman Weda secara garis besar yag dibahas kali ini Dewa-dewa, Roh-roh (jahat), Korban, dan praktek keagamaan.

1.     Zaman Weda
Zaman ini dimulai dari datangnya bangsa Arya kurang lebih 2500 tahun sebelum masehi ke India, dengan menempati lembah sungai Sindhu, yang juga dikenal dengan nama punyab (daerah lima aliran sungai). Bangsa Arya tergolong ras Indo Eropa, yang terkenal sebagai pengembara cerdas, tangguh dan trampil.[1]

Zaman Weda merupakan zaman penulisan wahyu suci Weda yang pertama yaitu Rigweda. Kehidupan beragama pada zaman ini, didasarkan atas ajaran-ajaran yang tercantum pada Weda Samitha, yang lebih banyak menekankan pada pembacaan pelafalan ayat-ayat Weda secara Oral, yaitu dengan menyanyikan dan mendengarkan secara berkelompok. Weda adalah kitab suci Agama Hindu. Sumber ajaran Agama Hindu adalah kitab suci Weda. Semua ajarannya bernafaskan Weda. Weda menjiwai ajaran agama Hindu, karena itu agama Hindu mengakaui kewenangan ajaran kitab suci weda. Weda adalah wahyu atau sabda suci Tuhan Yang Maha Esa/Hyang Widhi wasa, yang diyakini oleh umatnya sebagai anandi ananta yakni tidak berawal dan tidak diketahui kapan diturunkan dan berlaku sepanjang masa. Namun demikian dikalangan srjana, baik Hindu maupun Barat telah berikhtiar untuk menentukan kapan sebenarnya Weda itu diwahyukan.[2]

Kehidupan keagamaan umat Hindu didasarkan pada naskah suci yang disebut Weda Samhita,yang mereka yakini sebagai ciptaan Brahma.[3] Hanya para resi saja yang mampu menerima isi Weda tersebu. Isi Weda pada mulanya berbentuk mantra-mantra, kemudian disusun dalam bentuk puji-pujian. Kitab suci Weda terdiri dari empat Samhita, yaitu:
Ø  Rigweda. Rigweda berasal dari kata “Rig” yang berarti memuji. Kitab ini berisi 1000 puji-pujian kepada dewa dalam bentuk Kidung, dan masing-masing Kidung (sukta) terbagi lagi dalam beberapa Bait. Bagian akhir Rigweda membicarakan perawatan orang mati, pembakarannya dan pengamburannya menurut umat Hindu, Rigweda ini sangat penting di dalamnya terdapat pengertian dan isyarat akan Agama mamoteistis dengan falsafah yang monistik [Itulah yang maha Esa. Orang-orang suci memberinya agama yang bermacam. Mereka menyebutnya dengan Agni Yama dan Matariwan (Rigweda I, 164:44)].
Ø  Samaweda. Samaweda merupakan suatu bunga-rampai Rigweda, dan sangat menekankan pada tanda-tanda irama music. Samaweda terdiri dari 1549 bait. Puji-pujian dinyanyikan diikuti irama music oleh para pendeta yang disebut Udgatr, dan biasanya dilakukan pada upacara korban diselenggarakan.
Ø  Yajurweda. Weda ini tidak hanya mnemuat mantra-mantra dan persembahan soma saja, akan tetapi mantra-mantra yang diucapkan dalam beberapa upacara kecil. Yajurweda memiliki hubungan yang sangat erat dengan Rigweda dan Samaweda, dan ketiga-tiganya sering disebut dengan Triwedi.[4]
Ø  Atharwaweda. Para atharwan adalah golongan pendeta tersendiri. Dalam weda ini dijumpai kidung-kidung yang harus di ucapkan pada waktu mempersembahkan soma. Isi Atharwaweda berupa mantra-mantra magis dan doa-doa yang bunyi dan artinya sendiri dianggap sudah memiliki kekuatan.
Dalam kitab-kitab Weda tidak terdapat uraian mengenai doktrin-doktrin maupun amalan-amalan ajaran Hindu yang khas. Tidak ada pemujaan terhadap patung, tidak ada hal-hal yang berhubungan dengan ritus permandian di sungai-sungai yang dianggap suci, tidak ada uraian tentang pertapaan di hutan, dan tidak ada praktek yoga maupun pertarakan, juga tidak ada ajaran avatara atau penjelmaan.[5] Weda sebagai sumber ajaran agama Hindu terdiri dari kitab Sruti dan Smrti. Sruti adalah wahyu sedangkan Smrti adalah kitab yang menguraikan komentar, penjelasan atau tafsir terhadap wahyu. Materi weda diuraikan pada Sruti dan smrti. Sruti menurut sifat dan isinya dibedakan atas 4 bagian : [6]
1)    Mantra
2)   Brahmana
3)   Aranyaka
4)   Upanisad

A.   Dewa-dewa
Dewa-dewa yang dipercayai kedudukannya lebih tinggi, karena bersikap murah pada manusia dan berkenan menerima pujaan dan pujian manusia. Dewa-dewa salalu dihadirkan dalam me-nyelamatkan dari gangguan-gangguan roh jahat. Mengenai Dewa-dewa dalam Rig Weda disebutkan ada 33 Dewa, dibedakan atas : Dewa-dewa langit, Dewa-dewa Angkasa, Dewa-dewa Bumi.[7]

Dewa-dewa langit antara lain adalah Dewa Waruna, yang dipandang sebagai pengawas tata dunia atau Rta. Akibat karya dewa Waruna maka langit teratur, sungai-sungai mengalir dengan baik dan musim-musim datang pada waktunya. Dewa Waruna memberikan hadia kepada yang mengikuti Rta dan hukuman kepada yang jahat. Selain Waruna juga Dewa Surya dan Dewa Wisnu termasuk Dewa langit. Dewa Surya diyakini dapat memperpanjang hidup dan mengusir penyakit. Dewa Surya digambarkan sebagai menaiki kereta dapat melangkah tiga langkah. Langkahnya yang ke tiga dipandang tertinggi, sebagai surga tempat kedamain para Dewa.[8]

Dewa-dewa angkasa antara lain Dewa indra dan dewa Angin. Dewa Indra sering disebut dengan Dewa perang dan mendapat kehormatan yang besar sekali, sebab sering membantu manusia dalam perang. Dewa Indra digambarkan bersenjata panah/wajra. Dewa angin dipandang sebagai Dewa yang penting.

Yang termasuk Dewa-dewa bumi adalah Dewa Pertiwi, dan Dewa Agni. Dewa Pertiwi adalah Dewa bumi yang sering disembah sebagai Dewa Ibu. Dewa Agni juga disebut Dewa Api, yang sering dianggap sebagai perantara antara manusia dan Dewa Agnilah yang meneruskan puji-pujian dan korban bakar kepada para Dewa yang dimaksud. Agni pula yang mendatangkan para Dewa ke tempat-tempat saji dengan bunyi-bunyian dalam Api. Setiap rumah orang Hindu biasanya mempunyai tiga macam api, yaitu api untuk upacara harian (agnihotra), seperti yang sampai saat ini masih terdapat di kalangan keluarga pandit yang ortodoks; api yang untuk upacara tengah bulanan yang dikaitkan dengan bulan baru atau bulan purnama; dan api untuk upacara penghormatan dean pemujaan arwah leluhur. [9]

Kemudian Dewa Soma, Dewa minuman keras soma yang diperoleh dari perasan tumbuh-tumbuhan yang disebut soma pula. Soma adalah minuman para Dewa. Dalam upacara korban, soma dituangkan sebagai persembahan untuk para Dewa. Hal yang agak aneh ialah bahwa rasa hormat yang luar biasa bukannya yang ditujukan kepada objek ritus itu sendiri tetapi hanya kepada kekuatan soma itu saja.

Ada beberapa Dewa lain yang masing-masing kurang jelas urutan kepentingannya. Dewa-dewa tersebut adalah Surya (Dewa matahari), Wisnu,sikembar Aswin atau Nasatya (Dewa alam pagi hari) yang kemudian menjadi dewa kesehatan, Usas (dianggap sebagai Dewa fajar), Marut (Dewa taufan dan angin ribut), Rudra (Dewa taufan dan petir), parjanya (Dewa pengetahuan)). Dewa-dewa penting sebagai personifikasi kekuatan alam adalah cipta, Brhamananaspati atau Brahaspati (Dewa personifikasi perbuatan manusia alam sesaji), dan Widhatar (Dewa Guntur).[10]

Sekalipun dalam agama ini didapati banyak sekali Dewa, namun mereka tidak dapat dikatakan politeistis karena ternyata Dewa tertinggi yang memiliki segala kekuasaan para Dewa yang lain. Dengan demikian hanya ada satu Dewa tertinggi saja yang memiliki segala kekuatan para Dewa, yang namanya berganti-ganti. Oleh karena itu barangkali lebih tepat kalau dikatakan sebagai kepercayaan henoteisme (henoteisme). Max Mller juga menghindari pemakain istilah monoteisme atau politeisme dalam ketuhanan agam Hindu. Mereka menggunakan istilah “henoteisme” karena ada kecendrungan melukiskan semua kekuatan pada Tuhan tertentu dan utama yang ada dalam pikiran para pemujanya. Selain dapat disebut sebagai kepercayaan sebagai heneoteistik, barang kali agama ini dapat pula disebut sebagai katenoteisme (khathenotheisme) karena dalam agam ini terdapat kecendrungan untuk memuliakan dan mengagungkan hanya satu Dewa yang maha tinggi yang diperlukan sebagai obyek tunggal. Akan tetapi Dewa-dewa lain terhimpun kepadanya.


B.    Roh-roh (jahat)
Menurut kepercayaan Weda kuno, selain para Dewa masih ada lagi roh-roh jahat. Roh jahat ada dua macam : yang tinggi kekuasaannya menjadi musuh para Dewa. Musuh Indra adalah roh jahat yang menguasai musim kemarau (Wrta). Roh jahat yang kurang kekuasaannya adalah Raksa dan pisaca (pemakan bangkai). Raksa sering menampakan diri sebagai manusia dan binatang. Ada lagi roh “hais” seperti Gandarwa, Yaksa, Bhatu dan Raksasa.

Arwah leluhur sangat penting kedudukannya dalam kepercayaan agama Weda ini. Apabila orang meninggal, jiwanya tidak langsung sampai di alam bahagia tetapi masih mengembara dalam keadan menderita. Jiwa semacam ini disebut dengan preta, dan sangat membahayakan. Oleh karena itu keturunannya, anak cucu terutama anak laki-lakinya, perlu mengadakan upacara sesembahan dan menyelenggarakan upacara korban supaya petra segera sampai kealam bahagia yaitu alam pitara. Raja para pitara adalah Dewa Yama.

C.    Korban
Umat Weda memuliakan para leluhur mereka dengan menyelenggarakan upacara korban, yamg selain dilakukan dengan harapan supaya para Dewa melindungi manusia dari gangguan roh jahat, juga supaya para Dewa memberikan kelancaran, kemurahan dan ketenangan serta ketentraman. Tujuan utama melakukan upacar korban dalam agama Weda ini ialah terjaminnya tata tertib kosmos. Pelaksanaan korban dipimpin oleh pendeta yang mebujuk dan merayu para Dewa untuk mengabulkkan permohonan manusia. Selain itu masih ada korban Rajasuya, korban untuk penobatan dan kedaulatan raja yang diselenggarahkan dengan upacra yang disebut Aswameda. Korban-korban ini disertai dengan pengucapan doa-doa yang tersebut dalam Rigweda, irama musik yang diselingi bunyi seruling, makan atau pesta bersama, dan diakhiri dengan pengucapan doa untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama.untuk keperluan sehari-hari korban oleh kepala keluarga Dari segi penyelenggaraan.

 korban yang dilakukan hanya seorang pendeta saja dirasa kurang memuaskan. Oleh Karen itu biasanya korban diselenggarahkan oleh beberapa orang pendeta. Pendeta yang sangat diutamakan biasanya disebut  Hotri yang tugasnya adalah menyetir bait-bait yang terdapat dalam Rigweda. Pendeta Adwaryu juga penting karena dalam penyelenggaraan korban ini dilakukan persiapan-persiapan yang cermata. Ia menunggu api supaya tidak padam dan menyiapkan beberapa macam makanan yang di perlukan. Para Brahmana mengawasi penyelenggaraan korban tersebut. Selama upacara koban berlangsung, kidung-kidung dinyanyikan oleh Udgrati. Upacara korban sehubungan dengan peristiwa suci disebut Samsakara, dan biasanya dilakukan oleh ketiga kasta atas. Yang terpenting adalah upacara-upacar korban yang berkaitan dengan masalah kematian.

 Ada pula upacara korban yang diselenggarakan bersama oleh masyarakat dibantu pejabat lain.korban diselenggrakann di rumah-rumah atau di altar. Benda yang dipersembahkan biasanya adalah benda-benda yang disukai oleh manusia seperti susu; ghee dan kue-kue yang terbuat dari gandum atau beras. Kalu korban terseburt berupa bintatang, maka daging korban tersebut tidak mereka makan. Menurut Robert D. Baird dan Alfred Bloom, korban binatang ini merupakan bukti korgban manusia yang pasti diterimaoleh para Dewa.[11]

D.   Praktek keagamaan
Dua macam upacara simbolok yang penting ialah : pertama korban manusia (purusa) sebagaimana tercantum dalam kidung kosmogonik dalam Rigweda, yang menyebutkan bahwa yang maha tinggi telah menjalani korban sarwameda di mana manusia mengakui kemahakuasaan Tuhan secara universal sehingga kemudian Dewa melimpahkan segala miliknya kepada seluruh manusia.
Dikalangan rakyat umum terdapat beberapa upacara korban sebagai upacara siklus kehidupan. Dibeberapa tempat, upoaca tersebut terdiri dari satu seri upacara korban kecil dengan sesaji yang sangat sederhana seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Upacara dilakukan sendiri oleh pemilik ruma hselaku penaggungjawab anggota keluarganya. Upacar ini juga mementingkan api.[12]
Yang menjadi pusat pemujaan orang-orang ini adalah korban. Korban-korban itu dipersembahkan dengan maksud untuk mendapatkan kemurahan dewa-dewa menghindari diri dari permusuhan roh-roh yang jahat, dan emuja para leluhur. Pada hakikatnya korban yang dipersembahkan kepada Dewa-dewa it bersifat permohonan, yaitu memohon keuntungan-keuntunganbagi hari depan, sehingga korban ucapan syukur bagi hal-al yang sudah dialaminya tidak ada.
Ada dua maca korban, yaitu korban tetap, yang dilakukan tiap kali, pada waktu pagi dan sore, tiap bulan baru dan bulan purnama, tiap awal musim semi, musim hujan, dan musim dingin. Disamping tu ada orban berkala, yang dikorbankan jika ada keperluan, umpamanya korban soma, aswameda, atau koban kuda, rajasuya, dan sebgainya. Kecuali korban-korban masih ada upacara-upacara lainnya yang harus dilakukan orang, yaitu pada waktu istri mengandung, melahirkan anak, anak berumur 4 bulan, yaitu waktu diajak berpergianuntuk pertama kali, atau juga waktu anak makan yang pertama, atau waktu ia dicukur untuk yang pertama kali, dan sebagainya. Demikuanlah seluruh kehidupan orang pada zaman iitu meliputi oleh upacar-upacara keagamaan.[13]

DAFTAR PUSTAKA
Thalhas, Pengantar Study Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: Galura Pase, 2006
Mahmoud, Abbas, Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama-agama dan pemikiran Manusia, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Ali, Mukti, Agama-agama Di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga press, 1988
Direktor Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu, Dasar-dasar Agama Hindu, Jakarta: kementrian Agama Republik Indonesia, 2010
Hadiwijono, Harun, Sari Filsafat India, Jakarta: Gunung Mulia, 1989
Honig, Ilmu Agama, Jakarta: Gunung Mulia, 2009
Hadiwijono, Harun, Agama Hindu dan Budha, Jakarta: Gunung Mulia, 2008
Djam’annuri, Agama Kita: Perspektif Sejarah Agama-agama, Yogyakarta, 2002
Ana Yuliana dan Yudi Irawan, Agamaku Agamamu, Bandung: Sidqah Semesta, 2007




[1] Direktor Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu, Dasar-Dasar Agama Hindu (Jakarta:kementrian Agama Republik    Indonesi, 2010),h. 6

[2] Direktor Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu, Dasar-Dasar Agama Hindu (Jakarta:Kementrian Agama Republik Indonesia, 2010),h. 6
[3] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 60
[4] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta :IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 61
[5] Hanafih, Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama-Agama dan pemikiran Manusia (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1973),h. 60
[6] Thalhas, Pengantar Study Ilmu Perbandimgan Agama ( Jakarta: Galura Pase, 2006),h. 57
[7] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 63
[8] Harun, Hadiwijono, Agama Hindu dan Budha (Jakarta: Gunung Mulia, 2010)
[9] Harun, hadiwijono, Sari Filsafat India ( Jakarta: Gnung Mulia, 1989 ),h. 14
[10] Honig, Ilmu Agama ( Jakarta: Gunung Mulia, 2009 ),h. 82
[11] Honig, Ilmu Agama ( Jakarta: Gunung Mulia, 2009 ),h. 83
[12] Harun, hadiwijono, Agama Hindu dan Budha ( Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2008 ), h. 20
[13] Djam’annuri, agama kita:Perspektif Sejarah Agama-agama ( Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002), h. 45, cet II

Perkembangan Agama Hindu


Agama Hindu tidak hanya terdapat di India, tetapi juga telah masuk ke Indonesia, bahkan sangat kuat pengaruhnya terutama di jawa. Kapan agama itu masuk ke Nusantara  tidak dapat diketahui secara pasti. Interprestasi terhadap penemuan kepurbakalaan, penibggalan karya tulis dan sebagainya, juga memberikan informasi tentang siapa  nama pembawa agama tersebut.

Ada beberapa bukti pengaruh agama Hindu dan kebudayaan India terhadap Indonesia dalam bidang sastra dan agama, seni bangunan dan adat kebiasaan yang ada disekitar kraton. Dari sini barang kali dapat dipahami bahwa masuknya pengaru tersebut bukan melalui kasta-kasta, tetapi oleh para Brahmana, karena merekalah yang berwenang membaca kitab suci dan mementukan peribadatan. Ajaran tentang samsara, karma, yang tidak terlepas dari ajaran kasta memungkinkan dugaan bahwa agama Hindu bukan agama dakwah dan tidak mencari pengikut. Yang sering menjadi persoalan adalah bagaimana pengaruh para Brahmana terhadap lingkungan kraton tersebut.

Dari penemuan prasasti dapaat diketahui bahwa perkembangan pengaruh agama Hindu di Indonesia tetap berpusat di sekitar kraton. Prasasti Kutai dari zaman raja Mulawarman menunjukkan bahwa korban sesaji oleh raja dilaksanakan dan diselenggarakan sesuai dengan ajaran kitab Manusmriti. 

Dapam perkembangan selanjutnya, selain pusat-pusat keagamaan di kraton, juga terdapat pusat-pusat keagamaan Hindu yang disebut Paguron atau Mandala atau Kasturi. Ditempat-tempat ini para pendeta memberikan pelajaran. Kitab-kitab yang ada pada waktu itu adalah kitab Tabtu Panggelaran, juga kitab nawaruci yang juga disebut kitab Tattwajnana.

Sumber: Buku Agama-Agama di Dunia karangan H. A. Mukti Ali