Persamaan Gender merupakan salah satu produk pemikiran barat yang sedang
gencar-gencarnya dilakukan di Indonesia. Isu yang menghendaki hancurnya batas-batas pembeda antara dua
kelompok manusia (laki-laki dan perempuan) dalam status sosial dan peran di
masyarakat ini dijajakan oleh para aktivis feminism dimana hanya mengutamakan
salah satu jenis kelamin (perempuan).
Isu persamaan Gender ini telah
sampai pada Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan keadilan Gender (RUU KKG). Secara
mendasar berbagai konsep dalam RUU tersebut bertentangan dengan konsep-konsep
dasar ajaran Islam. RUU
ini mendefinisikan gender sebagai berikut: “Gender adalah pembedaan
peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil
konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta
dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis
kelamin ke jenis kelamin lainnya.” (Pasal 1:1, Draft RUU-KKG)
Definisi gender seperti itu adalah sangat
keliru. Sebab, menurut konsep Islam, tugas, peran, dan tanggung jawab perempuan
dan laki-laki baik dalam keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang
publik) didasarkan pada wahyu Allah, dan tidak semuanya merupakan produk
budaya. Gender merupakan konstruksi sosial, masyarakat sendiri yang membentuk
konsep gender tersebut
Kesetaraan
dalam Kewajiban Beribadah dan Pahalanya
Tidak dipungkiri bahwa di dalam Islam terdapat persamaan antara
laki-laki dan perempuan tanpa ada perbedaan. Tetapi persamaan di sini bukan
berarti persamaan disegala bidang. Menyetarakan keduanya dalam semua peran,
kedudukan, status sosial, pekerjaan, jenis kewajiban dan hak sama dengan
melanggar kodrat. Namun persamaan itu terletak pada kewajiban beramal saleh dan
beribadah, dan hak-hak mereka untuk belajar dan mengajarkan ilmunya.
Masing-masing manusia (laki-laki dan perempuan) dibebani oleh Allah dengan
tanggungjawab melaksanakan ibadah kepada-Nya, dan menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana
firman Allah dalam surat Adz-Zariyat ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah
aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.”
Ayat ini menerangkan kepada kita bahwa Allah menciptakan manusia adalah
untuk beribadah kepada-Nya. Allah juga tidak memberikan penbeda kepada manusia
(laki-laki dan perempuan) mengenai pahala. Sebagaimana firman Allah dalam surat
An-Nisa ayat 124 :
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ
الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ
الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
“Barangsiapa yang
mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang
beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau
sedikitpun.”
Perbedaan
Kodrat
Perbedaan kodrat antara
laki-laki dan perempuan merupakan hikmah dari Allah SWT. bahwa laki-laki tidak sama dengan perempuan
dari segi struktur tubuh dan penciptaan, yang berdampak kepada adanya perbedaan
di antara keduanya dalam hal potensi, kemampuan fisik, emosional, dan kehendak.
Al-Qur’an dan Sunnah nabi membedakan peran dan tanggungjawab antara laki-laki
dan perempuan sesuai dengan perbedaan kodrati dan tabiat masing-masing..
Karena, kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa antara laki-laki dan wanita
terdapat perbedaan-perbedaan mendasar, hingga jika kita melihat keduanya dengan
kasat mata sekalipun. Secara biologis dan kemampuan fisik, laki-laki dan
perempuan jelas berbeda. Begitu pun dari sisi sifat, pemikiran-akal,
kecenderungan, emosi dan potensi masing-masing juga berbeda. Sebagaimana firman
Allah SWT dalam surat Ali-Imran ayat 36 :
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى
“Dan anak
laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.”
Wanita dengan tabiatnya
melakukan proses reproduksi, mengandung, melahirkan, menyusui, menstruasi.
Sedangkan laki-laki yang mempunyai jiwa maskulin, dan jiwa memimpin Adalah
tidak adil jika kita kemudian memaksakan suatu peran yang tidak sesuai dengan
tabiat dan kecenderungan dasar dari masing-masing jenis tersebut.
Walaupun dalam kenyataannya
didalam Islam ada batasan-batasan yang tidak boleh dilakukan oleh seorang
perempuan, tetapi laki-laki boleh melaksanakannya. Namun batasan-batasan ini
adalah untuk memuliakan perempuan itu sendiri. Seperti firman Allah dalam surat
Al Ahzab ayat 33 : “Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya.”
Ayat ini bukan berarti melarang
seorang istri bekerja, karena bekerja diperbolehkan dalam Islam. Tapi Islam
hanya mendelegasikan bahwa sekalipun perempuan bekerja itu harus dalam kondisi
darurat dan pekerjaan bukanlah sebagai pokok tugas utamanya, karena tugas utama
mencari nafkah ada pada fihak suami sedangkan istri memiliki beban yang lebih
mulia: orang pertama yang menyiapkan generasi Islam.
Tidak dipungkiri bahwa didalam
berkeluarga, laki-laki mempunyai peran yang lebih tinggi, yaitu sebagai kepala
rumah tangga. Tetapi tanggungjawab itu sesuai kemampuan yang ada didalam diri
laki-laki. Bayangkan saja jika tugas ini di alih fungsikan kepada perempuan.
Islam juga mengajarkan bahwa seorang istri harus berbakti kepada suami, tetapi
laki-laki pun harus jauh lebih menghormati ibunya.
Ini diceritakan dalam hadits suatu
hari ada seorang sahabat mendatangi Rasulullah. Lelaki tersebut hendak
menanyakan tentang bagaimanakah hendaknya ia memperlakukan ibunya dalam
berbakti dalam hidupnya. Rasulullah pun menjawab bahwa seorang ibu memiliki hak
yang sangat besar dalam masalah berbaktinya anak kepada orang tua. Seorang ibu
memiliki perbandingan 3 kali lebih utama dibanding ayah (3:1) dalam
pemrioritasan kebaktian seorang anak kepada orang tua. Sekali lagi, Nabi
menyebut kedudukan ibu hingga 3 kali baru kemudian kedudukan seorang ayah 1
kali manakala lelaki tersebut menanyakan bagaimanakah hendaknya dia
memperlakukan kedua orang tuanya. Kisah membuktikan bahwa Islam sangat
memuliakan kaum perempuan.
Dalam anggapan Islam, wanita bukanlah sekadar sarana untuk
melahirkan, mengasuh, dan menyusui. Tetapi juga sebuah madrasah (tempat pendidikan) pertama bagi
anak-anaknya. Fenomena tawuran remaja dan anak sekolah di
kota-kota besar saat ini ternyata dilakukan oleh anak-anak remaja. Yang dimanan
anak-anak ini kurang mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya dikarenakan terlalu
sibuknya orang tua dalam bekerja.
Kita mengenal Imam Syafii R.A.
Beliau adalah Imam besar yang mazhabnya dianut oleh mayoritas umat Islam di
Indonesia ini adalah hasil didikan perempuan hebat. Beliau dibesarkan oleh
seorang ibu yang begitu sabar. Ketiadaan suami tidak membuat Ibunda Imam
Syafi’i menyerah pada keadaan dan melupakan hak seorang anak untuk mendapatkan
pendidikan terbaik dalam bidang agama. Tanpa kehadiran seorang ibu, mungkin saat ini kita hanya mengenal
nama Imam Syafi’i sebagai orang biasa, bukan ulama kesohor yang kejeniusannya
dalam perkara fiqh menjadi peneman kita saat mengalami kebingungan dalam
beribadah.
Kesimpulan
Kesetaraan, atau persamaan
antara laki-laki dan perempuan bukanlah nilai yang berasal dari pandangan Islam.
Islam memandang keadilan antara laki-laki dan wanita, bukan kesetaraan. Konsep
kesetaraan bertolak belakang dengan prinsip keadilan. Karena adil adalah
menempatkan sesuatu pada tempatnya, memberikan hak kepada yang berhak
menerimanya. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 90 yang
artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran”
Dalam Islam model hubungan
antara laki-laki dan wanita adalah hubungan saling melengkapi, bukan hubungan
persaingan sebagaimana yang diinginkan oleh konsep sekuler.
Dari segala pemaparan di atas
kiranya para perempuan yang merupakan benteng pertahanan terakhir dalam menjaga
keberlangsungan hidup manusia-manusia selanjutnya dimana peradaban disusun
didalamnya, seharusnya menyadari hakikat dihadirkannya dirinya di dunia ini
oleh Allah. Perempuan dihadirkan di dunia oleh Allah bukan sekedar hanya agar
dia bersolek, berhubungan seksual, melahirkan, menjadi korban mode dan iklan,
berlenggak-lenggok di depan mata manusia dengan dalih ratu-ratuan/miss-miss an,
dan segala hal remeh temeh lainnya. Lebih dari semua itu, perempuan di hadirkan
di dunia ini agar dapat menumbuhkan generasi-generasi baru yang lebih baik bagi
peradaban manusia berikutnya. Dan semua harapan besar dari umat manusia itu ada
di pundak wanita-wanita Muslimah karena hanya merekalah wanita terbaik yang
dihadirkan Allah di dunia ini.
Dengan demikian, selain mengakui
adanya PERSAMAAN antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemanusiaan,
kemuliaan, dan hak-hak umum yang terkait langsung dengan posisinya sebagai
hamba Allah SWT, Islam telah MEMBEDAKAN perlakuan terhadap laki-laki dan
perempuan dalam sebagian hak dan kewajiban. Itu dilakukan sesuai dengan adanya
perbedaan naluriah dan alami (nature) di antara keduanya dalam fungsi, peran
dan tanggung jawab. Agar masing-masing jenis dapat menunaikan tugas-tugas
pokoknya dengan sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar