Laman

Fitri Astuti Perbandingan Agama 3

Fitri Astuti Perbandingan Agama 3
Blog ini dibuat sebagai bahan pembelajaran saya pada Mata Kuliah Hinduisme

Rabu, 12 Desember 2012

Kronologi Sejarah Agama Hindu


        I.      Pendahuluan

Mempelajari agama Hindu terasa mengalami kesulitan karena subjeknya yang sangat luas dan mencangkup sejarah yang sangat panjang apalagi agama tersebut memiliki ajaran yang tak terbatas.[1] Menurut R. Antoine, sngatlah sulit untuk mendefinisikan agama Hindu, karena agama Hindu bukanlah satu agama dengan syahadat tunggal yang harus dipatuhi oleh semua orang.

Ada dua unsur yang membuat elaborasi definisi menjadi sulit. Pertama, agama Hindu tidak memiliki seorang pendiri seperti dalam Budhisme, Kristen, dan Islam. Kedua, agama Hindu tidak memiliki otoritas yang merumuskan batas-batas dogma.

Sejarah kronologis agama Hindu dapat dibagi dalam empat macam masa[2], yakni :

1.      Masa Weda (1500 SM – 300 SM)
2.     Masa Klasik (300 SM – 1000 M)
3.     Masa Pertengahan (1000 M – 1800 M)
4.     Masa Modern (1800 M – 1947 M)

Sebelum beralih pada masa Weda itu, terlebih dahulu kita mengetahui Peradaban Sungai Indus. Peradaban yang terdahulu sekali dianggap mulai di daerah hulu Sungai Indus. Kira-kira 35 tahun yang lalu Jawatan Pemeriksaan Kebudayaan Kuno di India telah mengadakan penggalian dekat kampong Mohenjo Daro dan Harappa dipinggir sungai Indus.[3] Penggalian tanah itu menunjukkan bahwa[4]:
1.      Sebelum kedatangan bagsa Arya bangsa Dravida sudaah memiliki kota-kota besar, yang dibangun sesuai rencana dengan jalan-jalan besar, yang membujur dari utara keselatan, untuk memperlancar lalu lintas dari utara ke selatan.
2.     Mereka juga sudah bisa membuat kapal-kapal yang digunakan untuk berdagang dengan bangsa-bangsa lain.
3.     Mereka hidup dari pertanian dan mereka cinta damai.
4.     Masyarakat mereka bersifat matriakhal dan tidak mengenal kasta-kasta.
5.     Agamanya, mereka memuja seorang dewi tertinggi yang dianggap sebagai ibu alam.
          Dari penggalian tanah di Mohenjo Daro dan Harappa dapat diketahui bahwa bangsa Dravida adalah bangsa yang sudah memiliki suatu peradaban yang tinggi. Peradaban itu disebut peradaban Sungai Indus.

II.      Masa Weda (1500 SM – 300 SM)

Pada zaman ini kehidupan keagamaan orang Hindu didasarkan atas kitab-kitab yang disebut Weda Samhita, yang berarti pengumpulan Weda. Kata Weda berarti pengetahuan (Wid = tahu). [5]

Pada zaman ini di tandai dengan masuknya bangsa Arya ke India dengan membawa agama yang memuja serta mengambil hati para dewa yang melambangkan kekuatan-kekeuatan alam.[6] Bangsa Arya itu serumpun dengan bangsa German, Yunani dan Romawi. Mereka tergolong dalam apa yang kita sebut rumpun bangsa Indo-German.[7]

Di Bawah pengaru mentalitas religious lokal, sistem pemujaan kaum Arya berkembang menjadi dua aliran yang berbeda, yakni: yang ritualistik dan yang filosofis. Di satu pihak, pemujaan terhadap alam memberikan tempat bagi perkembangan ritual canggih yang berpusat pada berbagai macam upacara kurnam (yajna) dan hanya boleh dilakukan oleh pendeta-pendeta professional. Upacara kurban menjadi penting, karena pengucapan mantra secara tepat dapat membuka pintu kealam magis, dipihak lain sebagai reaksi terhadap tradisi ritualistic, aliran filosofis mencoba untuk menemukan kehadiran Roh atau kesadaran yang meliputi semua di balik pluralitas para dewa. Manifestasi Roh tersebut harus dicari di dalam kehidupan batin kesadaran manusia dan bukan di dalam upacara ritual. Pemujaan lama dan kedua perkembangannya dimasukkan kedalam Weda.

Dua dewa utama dalam kidung ig-Weda adalam Indra dan Agni, ini akan membantu kita memberikan kunci untuk memahami Rig-Weda. Dewa Indra, dalam aspek kosmisnya adalah pembebas dari air bah: dalam aspek duniawinya, ia adalah pahlawan yang memimpin kaum Aryan berkulit kuning langsat dalam mengalahkan kaum non-Aryan yang berkulit gelap. Indra juga dilihat sebagai penguasa alam svarloka, yakni dunia cahaya pikiran Ilahi. Kekuatan ada/eksistensi murni yang termanifestasi sebagai pikiran Ilahi. Dia turun kedunia kita sebagai pahlawan dengan kuda-kuda bersinar dan menghilangkan kegelapan serta perpecahan.

Api (Agni) merujuk pada wilayah domestic dimana ia memeprtahankan kesalehan. Dalam Weda, Agni adalah dewa yang paling penting serta paling universal. Dalam dunia fisik, dia adalah penelan serta penikmat yang umum. Dia juga merupakan pemurni, artinya ketika ia menelan atau menikmati, kemudian dia juga memurnikan. Agni juga merupakan apinya hidup dan menciptakan rasa dalam benda-benda. Jadi, segala daya dipastikan tindakannya hanya memalui dukungan Agni.

Dewa utama ketiga adalah soma, yakni dewa minuman yang menyegarkan. Dalam kitab Weda, soma adalah figure bagi kenikmatan Ilahi, prinsip kebahagiaan darimana eksistensi yang mempertahankan substansi. Dalam Taittirinya Upanishad, ananda dikatakan sebagai atmosfir eteris kenikmatan yang mutlak untuk mempertahankan keberadaan semua. Tanaman mistik soma menyimbolkan unsure di balik aktifitas indrawi dan kenikmatannya akan memberikan esensi Ilahi. Anggur soma menyimbolkan penggantian kenikmatan inderawi dengan kenikmatan ilahi. Substansi ini terjadi melalui transormasi tindakan dan pikiran kea rah yang ilahi. Jadi, soma adalah rajanya anggur kenikmatan, yakni anggur keabadian.

Ada banyak dewa yang bertugas di wilayah surgawi, udara dan bumi. Varuna misalnya adalah dewa yang mengesankan dan bertugas di wilayah surgawu; Indra di wilayah udara; dan Agni di wilayah bumi. Varuna merupakan personifikasi dari udara, terang serta gelap, dan kemudian lautan. Nama Varuna diturunkan dari akar “Vr” artinya meliputi, mencakup seperti langit. Karenanya dalam Rig-Weda dia adalah dewa yang meliputi atau mencakup semuanya. Varuna adalah Tuhannya kaum Aryan dan memiliki posisi yang mirip dengan Ahurnya pengikut Avesta. Varuna dianggap suci, maha baik dan masa pengampunan; dia mengampuni dosa-dosa pemujanya yang bertobat. Sebagai dewa maha pengampun, Varuna seringkali dibandingkan dengan Yahwe dalam Perjanjian Lama.

Agama Rig-Weda terdiri atas pemujaan (pemberian sesajen) pada berbagai dewa, yang seringkali dituangkan dalam api untuk dibawa kea lam dewata di wilayah surgawi. Peran ritual dalam agama Weda tidak dapat diremehkan. Karena diperkirakan bahwa hidupnya kembali teks-teks Weda mungkin disebabkan oleh penggunaannya dalam ritual.
      
       III.      Masa Klasik (300 SM-1000 M)

Spekulasi canggih serta mistisisme intelektual ternyata tidak dapat memuaskan aspirasi religious manusia biasa. Reaksi ini diikuti oleh spekulasi kelompok kecil arif bijaksana yang memisahkan diri dengan cirri-iri sebagai berikut :
1.      Penekanan pada moralitas, pengendalian diri dan kerja yang baik.
2.     Interpretasi yang rasional terhadap masalah kehidupan manusia.
3.     Penolakan terhadap ritualisme serta meghormati kehidupan dunia hewan.
4.     Kepercayaan terhadap Tuhan personal, kepada siapa manusia dapat memuja dan mempersembahkan devosinya.

Jika para pertapa dan arif bijaksana membimbing beberapa murid terpilih dalam menjalankan mistisisme metafisis, maka kasta Brahmana mengembangkan teks-teks ritual rumit yang dikenal sebagai sutra. Reaksi popular tercermin dalam gerakan-gerakan seperti: Budhisme, Jainisme, Shaivisme, dan Vaishnavisme.

Terdapat dua bentuk reaksi terhadap ritual kurban model Weda, yakni: eksternal dan Internal. Teks-teks Upanishad yang mengkritisi tradisi sebelumnya, namun masih tetap mendudukkan serta mengidentifikasikan diri dengan Weda. Namun, pada abad ke 6 SM, di India muncul dua gerakan utama yang mendudukkan diri mereka di luar kekolotan hukum Weda, yakni Budhisme dan Jainisme. Dalam menghadapi tantangan inilah Hinduisme lantas mulai meredefinisikan dirinya. Budhisme dan Jainisme memang menolak otoritas atau tradisi Weda, terutama mengenai komitmen terhadap tujuan serta kehidupan duniawi, institusi kasta dan tahap-tahap kehidupan, paling tidak sebagian, jika tidak seluruhnya. Hinduisme merumuskan dirinya dalam menghadapi tantangan ini, dengan menyatakan validitas Weda serta hukum kasta dan tahap-tahap hidup. Pada mulanya, gesakan Budhisme dan Jainisme menarik banyak perhatian prang dan menjadi kekuatan yang cukup besar. Jika kita elihat bukti-bukti arkeologis dari abad ke 2 SM, sampai abad ke 2 M, maka bukti menunjukan bahwa gelombang pasang sedang memihak pada Budhisme, dan sejumlah besar orang asing yang masuk ke India pada waktu itu juga menjadi pengikut Budhisme.

Namun lambat laun gelombang pasang tersebut berbalik. Pendirian dinasti Gupta di India Utara sekitar 300 M, memberikan tanda kebangkitan kembali Hinduisme. Pada abad ke 10. Hinduisme telah berhasil secara gemilang mendudukkan diri sebagai agama dominan di India.

Budhisme dan Jainisme

Bersama-sama dengan kaum Materialis, ketiga alitan ini disebut nastika, artinya tidak menerima otoritas Weda. Mereka juga dimasukan ke dalam golonga heterodoks (tidak ortodoks). Sedangakan ke enam aliran filsafat (Shad Darsana) yang disebut astika adalah yang menerima otoritas Weda dan disebut juga sebagai golongan ortodoks. Keduanya mengajarkan dikrtin etika yang menekankan kesucian kehidupan hewani, sehingga berada diluar jangkauan Hinduisme kolot, karena penolakan mereka terhadap Weda sebagai kitab suci.

Shaivisme dan Vaishnavisme

Kedua aliran ini merupakan gerakan teistik yang sulit dilacak asal-usulnya dan memainkan peran sangat penting dalam perkembangan Hinduisme berikutny. Shaivisme atau agama Shiva tampaknya mulai sekitar abad ke 6 SM, dengan menyembah dewa Rudra dalam kitab Weda. Namun segera dewa Rudra digantikan oleh Shiva yang merupakan dewa kaum non-Aryan.

Perkembangan agama pouler membentuk sebuah tantangan begi tradisi ritual Weda serta mistisisme metafisis awal. Untuk memenuhi tantangan ini, maka para ritualis dan metafisikawan mulai merumuskan fondasi rasional posisi mereka. Dari usaha untuk merasionalisasikan serta menyistematisasikan ini melahirkan berbagai system filsafat India. Ada enam system (Sad-darsana), yakni: Nyaya, Vaisheshika, Samkhya, Yoga, Purva-Mimamsa dan Vedanta.

        IV.      Masa Pertengahan (1000-1800 M)

Ciri utama masa ini menunjukkan fakta bahwa Islam memberikan sebuah konteks mendasar bagi perkembangan Hinduisme sebagai teks. Pendukung Alberuni, Mahmud Ghazni memimpin tujuh belas serangan yang gemilang ke India dan mematahkan perlawanan orang-orang Hindu dengan mudah. Dia lebih tertarik untuk menghancurkan kota-kota daripada membangun kerajaan. Pada tahun 1192, pengusaha utama Rajput di Utara dikalahkan dan dibunuh oleh Muhammad Ghuri, dan pada tahun 1200, dinasti Budak telah mendirikan aturan muslim di India Utara dan berakhir sampai 1858.

Hinduisme berkembang dengan baik, sampai kedatangan Islam, dalam mengakomodasikan, jika bukan menyerap semua tantangan dalam bentuk agresi dari luar dan perpecahan dari dalam. Islam memberikan pengaruh ganda bagi Hinduisme. Di satu pihak, Islam menganjurkan perpindahan agama; di pihak lain, islam mendorong kecendrungan yang lebih egaliter dan monoteistik bagi kaum Hindu. Kemudian muncul tokoh-tokoh yang berusaha untuk menjembatani jurang pemisah antara keduanya. Sebagai contoh adalah Kabir (abad ke 15), Guru Nanak (1469-1538), Dadu (1544-1603).

Kabir menulis sekumpulan kidung yang dikenal sebagai Bijak; Dadu, pengikut Kabir dan pendiri Parabrahmana-sampradaya, bermaksud menyatukan semua agama menjadi satu. Dia mengarahkan para pengikutnya untuk mengumpulkan semua teks devosional dari berbagai aliran menjadi satu kesimpulan. Tulsidas (1532-1623) adalah penulis teks Ramayana dalam versi bahasa Hindi (Rama-carita-manasa) dan Vinaya-pratrika; Guru Nanak (1469-1538) menulis teks suci kaum Sikh (Granth Sahib), yang berisi kidung-kidung yang ditulis oleh guru-guru mereka serta orang-orang religious lainnya, baik Hindu maupun Muslim.

Memang ada interaksi antara Islam mistis dan Hinduisme, namun ajaran utama Hinduisme menarik diri ke dalam kerang pelindung; dan secara mendasar berada dalam cengkeraman keputusasaan politik, sehingga berbalik kea rah penghiburan spiritual pada Tuhan. Hal ini terlihat dengan berkembangnya gaya hidup sebagai pertapa atau pengunduran diri dari kehidupan duniawi. Kehidupan sannyasin menjadi semacam pelarian diri, seperti yang dilihat dengan jelas oleh guru Nanak. Pada sekitar abad ke 16, ke ekstriman Hinduisme terlihat jelas dalam karya-karya puisi devosional dengan kualitas sensasional, yang gerakannya diwakili oleh Surdas, Tulsidas, Mirabai, dan lain-lain.

Gerakan Caitanya pada abad ke 15, yang menekankan pembacaan Weda secara umum, merupakan sebuah usaha untuk menghindarkan Hinduisme agar tidak menjadi agama rumah dan perapian saja. Gerakan devosional ini menekankan kekuatan penyelamatan dalam nama Tuhan-terutama Krishna dan Rama, sehingga berpuncak pada pernyataan paradox bahwa nama Tuhan adalah lebih besar dari Tuhan sendiri. Gerakan devosional ini dikatakan berasal dari India Selatan, dimana para deviti Wishnu dan Shiwa sudah mencapai puncaknya pada abad ke 9. Sekarang kita akan pindah kewilayah India Selatan.

Islam masuk ke wilayah India Selatan dengan disingkirkannya Deogiri oleh Malik Kafur pada 1307. Namun reaksi kaum Hindu di Selatan cukup menarik dan berbeda. Sejarah mencatat bahwa ketiga aliran utama Wedanta yang diwakili oleh Shankara (abad ke 9), Ramanuja (abad ke 12) dan Madhva (abad ke 13) muncul di Selatan. Walaupun pemikiran Ramanuja dan Madhva adalah lebih bersifat teistik, namun masih tetap mengikuti konsep filsafat Wedanta dan bukan hanya bersifat devosional saja. Wilayah selatan menunjukkan kekuatan serta vitalitas lebih besar, bukan hanya secara religious, namun juga secara politis. Hal ini disebabkan adanya kerajaan Vijayanagar yang berkuasa dari abad ke 14 sampai abad ke 17.

Gerakan devosional (bhakti) di Maharastra (wilayah Barat India) mengambil dua bentuk, yakni: varakari dan dharakari. Bentuk dharakari lebih bersifat aktif dan devosional, dimana salah satu tokohnya adalah Ramdas yang menjadi guru Shivaji (1627-1680). Dibawah kepemimpinan Shivaji inilah kerajaan Marathas menjadi sebuah kekuatan politik yang kuat dan menggantikan kekuatan Muslim di Selatan.Bentuk varakari melahirkan nama-nama besar penyair santo diwilayah Barat India, seperti Namadev dan Tukaram. Gerakan bhakti menyebar ke seluruh wilayah India serta menghasilkan penyair.

Ciri paling meninjol pada masa Muslim (1200-1757) ini adalah berkembangnya agama Wisnu. Dua nama besar dari Selatan adalah Vallabha (1479-1531) dari India Selatan dan Caitanya (1486-1533) dari wilayah Bengal. Keduanya mengajarkan jalan devosi yang berpusat pada Krishna dan Radha.

Pengaruh Islam dapat dilihat dari gerakan religious di India Utara dengan cirri monoteisme ketat, tanpa menghiraukan perbedaan kasta dan menolak pemujaan terhadap imaji (patung, gambar). Sebagai contoh adalah Kabir yang mengajarkan sebuah agama univetsal berdasarkan pada realisasi personal akan Tuhan yang tinggal di dalam hati manusia. Kemudian, Guru nanak (1469-1538) mendirikan agama Sikh (1469-1538) yang berusaha menyelaraskan Islam dan Hindu.

                              V.      Masa Modern (1800-1947)

Pengaruh kebudayaan Barat memberikan dampak menentukan bagi Hinduisme. Wakaupun Hinduisme popular dan tradisional tetap menguasaan masyarakat umum, nmaun orang-orang terpelajar sangat dipengaruhi ole hide-ide baru yang datang dari Barat. Rasionalisme dan Positivisme cukup memikat pikiran orang-orang yang tidak puas dengan Hinduisme tardisional. Berbagai gerakaan reformasi dimulai, dimana Brahma-Samaj, Arya-Samaj dan  Ramakrishna Mission merupakan gerakan yang paling penting. Secara umum dapat dikatakan bahwa hubungan dengan Barat telah membuat penganut Hinduisme lebih sadar akan keniscayaan untuk menyesuaikan diri dengan mentalitas modern.
Masuknya orang-orang Inggris sebagai penjajah membuat Hinduisme menghadapi situasi yang berbeda secara kualitatif. Masuknya penguasa Inggris mengurangi kekuataan Islam, namun Hinduisme harus menghadapi sebuah jejuasaan baru, yakni agama Kristen. Pada saan yang sama, Hinduisme dihadapkan dengan sebuah ancaman baru, yakni: sains, sekularisme dan humanism. Justru melalui inisiatif orang-orang Barat, pengetahuan tentang Hinduisme ditemukan kembali dan termasuk studi atas kitab Weda.Dampak bagi pengikut Hinduisme tampak dari pernyataan seorang tokoh nasionalis seperti Swami Vivekananda bahwa Max Muller yang mengedit Rig-Weda dimasa modern mungkin adalah reinkarnasi dari Sayana di masa kerajaan Vijayanagar.
Walaupun ada sejumlah unsure yang harus dipertimbangkan untuk menjelaskan kebangkitan kembali Hindu setelah tahun 1800, namun dari sisi Hindu sebagai sebuah system religious, orang harus mengenali peranan Weda dalam proses tersebut. Pada masa reormasi awal, justru isu tentang weda dan otoritas Weda muncul kembali ke permukaan. Tokoh reformasi Hindu pertama adalah Raja Rammohun Roy berusaha untuk membenarkan monoteisme yang berbasis Wedanta. Sekitar 1830, dia mendirikan gerakan Brahmo Samaj di wilayah Bengal untuk melanjutkan perjuangannya. Kemudian di akhir abad ke 19, Swami Dayananda Saraswati mendirikan gerakan Arya Samaj di Bombay, memperkuat keabsolutan Weda yang telah dicetuskan oleh gerakan Brahmo Samaj.
Menjelang akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20, perkembangan Hinduisme mengalami sebuah proses pembalikan. Pada perkembangan sebelumnya, tradisi Hinduisme memperkeras posisinya untuk mempertahankan otoritas Weda karena di bawah tekanan Bidhaisme, Jainisme dan Materialisme. Di masa modern, walaupun Hinduisme sekali lagi mendapat tekanan dari sumber Kristiani yang rasional, modernis dan reformis, Hinduisme tidak bereaksi dengan cara yang sama. Hinduisme sekarang meninggilan pengalaman religious diatas otoritas religious dan tidak lagi terikat pada otoritas Weda. Sri Ramakrishna kadangkala melakukan penolakan terhadap Weda dan hanya menggunakannya sebagai sebuah simbol.Kemudian Swami Vivekananda juga pada saat tertentu meremehkan otoritas Weda yang begitu kuat bagi kaum Hindu.
Hampir semua tokoh-tokoh religious dimasa Modern seperti B.G Tilak (1856-1920), R. Tagore (1861-1941), Sri Aurobindo (1872-1950), dan Mahatma Gandhi (1869-1948). Semuanya mengambil inspirasi mereka dari Weda, walaupun bukan dari otoritas Weda, dan bahkan Sri Ramana Maharshi mewajibkan pembacaan Weda secara teratur di Ashram Tiruvannaamalai.[8]


 VI.        Zaman Kemerdekaan India



Soal pertama yang harus dipecahkan setelah India dan Pakistan menjadi Negara merdeka dan berdaulat pada 15 Agustus 1947 ialah pembagian daerah dan pemindahan penduduk yang ingin atau yang dipaksa pindah dari Negara yang satu kenegara yang lain.
Pemindahan orang yang berjuta-juta itu dilaksanakn oleh pemerintahan India dan Pakistan yang dalam usaha itubekerja segiat-giatnya dengan bantuan organisasi-organisasi sosial dan amal dan pasukan sukarela. Disamping itu tentu ada juga pemindahan secara liar dan atas tanggungngan sendiri dan disinilah Nampak kegelisahan yang menyedihkan sekali.
Hingga bulan November 1947 pemerintahan India mempergunakan 673 buah kereta api yang mengangkat 2,8 juta orang pelarian dari daerah Negara Pakistan ke India, setengah juta orang diangkut dengan kendaraan militer, 30.000 dengan kapal udara. Rata-rata dapatlah dipindahkan 50.000 orang sehari. Akan tetapi bagian yang terbesar dari orang pelarian itu berjalan kaki, sebab mereka membawa barangnya.
Masa penyusunan Negara baru yang penuh kesukaran-kesukaran dan diberatkan lagi oleh pemindahan rakyat dari daerah-daerah yang diserahkan kepada Pakistan meminta kebijaksanaan yang luar biasa dari pemerintah. Di Delhi pergaduhan tidak terhambat lagi diantara kaum-kaum pelarian yang hendak membalas dendamnya atas golongan Muslimin, akan tetapi dengan usaha Mahatma Gandhi kegelisahan itu dapat diteduhkan dalam beberapa hari. [9]

Daftar Pustaka

      Ali, Matius. Filsafat India: Sebuah pengantar Hinduisme dan Budhisme, Tangerang: Sanggar Luxor. 2010
        Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988
        Hadiwijono, Harun. Agana Hindu dan Budha. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. 2008
        Honig, A. G. Ilmu Agama. Jakarta: Gunung Mulia. 1997
       Molia¸ G. India: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Balai Pustaka Jakarta. 1959





[1] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia ( Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h.55
[2] Matius Ali, Filsafat India: Sebuah pengantar Hinduisme dan Budhisme, (Tangerang: Sanggar Luxor, 2010), h. 16
[3] G. Molia¸ India: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan, (Jakarta: Balai Pustaka Jakarta, 1959), h. 318
[4] Harun Hadiwijono, Agana Hindu dan Budha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2008), h. 11
[5] Harun Hadiwijono, Agana Hindu dan Budha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2008), h. 17
[6] Matius Ali, Filsafat India: Sebuah pengantar Hinduisme dan Budhisme, (Tangerang: Sanggar Luxor, 2010), h. 17
[7] A.G. Honig, Ilmu Agama (Jakarta: Gunung Mulia, 1997), h. 79
[8] Matius Ali, Filsafat India: Sebuah pengantar Hinduisme dan Budhisme, (Tangerang: Sanggar Luxor, 2010), h. 19-28

[9] G. Molia¸ India: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan, (Jakarta: Balai Pustaka Jakarta, 1959), h. 318

Tidak ada komentar:

Posting Komentar