I. Pendahuluan
Mempelajari agama Hindu terasa mengalami
kesulitan karena subjeknya yang sangat luas dan mencangkup sejarah yang sangat
panjang apalagi agama tersebut memiliki ajaran yang tak terbatas.[1] Menurut R. Antoine,
sngatlah sulit untuk mendefinisikan agama Hindu, karena agama Hindu bukanlah
satu agama dengan syahadat tunggal yang harus dipatuhi oleh semua orang.
Ada dua unsur yang membuat elaborasi definisi
menjadi sulit. Pertama, agama Hindu tidak memiliki seorang pendiri
seperti dalam Budhisme, Kristen, dan Islam. Kedua, agama Hindu tidak
memiliki otoritas yang merumuskan batas-batas dogma.
Sejarah kronologis agama Hindu dapat dibagi dalam
empat macam masa[2],
yakni :
1. Masa Weda (1500 SM – 300 SM)
2. Masa Klasik (300 SM – 1000 M)
3. Masa Pertengahan (1000 M – 1800 M)
4. Masa Modern (1800 M – 1947 M)
Sebelum beralih pada masa Weda itu, terlebih
dahulu kita mengetahui Peradaban Sungai Indus. Peradaban yang terdahulu sekali
dianggap mulai di daerah hulu Sungai Indus. Kira-kira 35 tahun yang lalu
Jawatan Pemeriksaan Kebudayaan Kuno di India telah mengadakan penggalian dekat
kampong Mohenjo Daro dan Harappa dipinggir sungai Indus.[3] Penggalian tanah itu
menunjukkan bahwa[4]:
1.
Sebelum
kedatangan bagsa Arya bangsa Dravida sudaah memiliki kota-kota besar, yang
dibangun sesuai rencana dengan jalan-jalan besar, yang membujur dari utara
keselatan, untuk memperlancar lalu lintas dari utara ke selatan.
2.
Mereka
juga sudah bisa membuat kapal-kapal yang digunakan untuk berdagang dengan
bangsa-bangsa lain.
3.
Mereka
hidup dari pertanian dan mereka cinta damai.
4.
Masyarakat
mereka bersifat matriakhal dan tidak mengenal kasta-kasta.
5.
Agamanya,
mereka memuja seorang dewi tertinggi yang dianggap sebagai ibu alam.
Dari penggalian tanah di Mohenjo Daro
dan Harappa dapat diketahui bahwa bangsa Dravida adalah bangsa yang sudah
memiliki suatu peradaban yang tinggi. Peradaban itu disebut peradaban Sungai
Indus.
II.
Masa Weda (1500 SM – 300 SM)
Pada zaman ini kehidupan keagamaan orang Hindu
didasarkan atas kitab-kitab yang disebut Weda Samhita, yang berarti pengumpulan
Weda. Kata Weda berarti pengetahuan (Wid = tahu). [5]
Pada zaman ini di tandai dengan masuknya bangsa
Arya ke India dengan membawa agama yang memuja serta mengambil hati para dewa
yang melambangkan kekuatan-kekeuatan alam.[6] Bangsa Arya itu serumpun dengan
bangsa German, Yunani dan Romawi. Mereka tergolong dalam apa yang kita sebut
rumpun bangsa Indo-German.[7]
Di Bawah pengaru mentalitas religious lokal,
sistem pemujaan kaum Arya berkembang menjadi dua aliran yang berbeda, yakni:
yang ritualistik dan yang filosofis. Di satu pihak, pemujaan terhadap alam
memberikan tempat bagi perkembangan ritual canggih yang berpusat pada berbagai
macam upacara kurnam (yajna) dan hanya boleh dilakukan oleh pendeta-pendeta
professional. Upacara kurban menjadi penting, karena pengucapan mantra secara
tepat dapat membuka pintu kealam magis, dipihak lain sebagai reaksi terhadap
tradisi ritualistic, aliran filosofis mencoba untuk menemukan kehadiran Roh
atau kesadaran yang meliputi semua di balik pluralitas para dewa. Manifestasi
Roh tersebut harus dicari di dalam kehidupan batin kesadaran manusia dan bukan
di dalam upacara ritual. Pemujaan lama dan kedua perkembangannya dimasukkan
kedalam Weda.
Dua dewa utama dalam kidung ig-Weda adalam Indra
dan Agni, ini akan membantu kita memberikan kunci untuk memahami Rig-Weda. Dewa
Indra, dalam aspek kosmisnya adalah pembebas dari air bah: dalam aspek
duniawinya, ia adalah pahlawan yang memimpin kaum Aryan berkulit kuning langsat
dalam mengalahkan kaum non-Aryan yang berkulit gelap. Indra juga dilihat
sebagai penguasa alam svarloka, yakni dunia cahaya pikiran Ilahi.
Kekuatan ada/eksistensi murni yang termanifestasi sebagai pikiran Ilahi. Dia
turun kedunia kita sebagai pahlawan dengan kuda-kuda bersinar dan menghilangkan
kegelapan serta perpecahan.
Api (Agni) merujuk pada wilayah domestic dimana
ia memeprtahankan kesalehan. Dalam Weda, Agni adalah dewa yang paling penting
serta paling universal. Dalam dunia fisik, dia adalah penelan serta penikmat
yang umum. Dia juga merupakan pemurni, artinya ketika ia menelan atau
menikmati, kemudian dia juga memurnikan. Agni juga merupakan apinya hidup dan
menciptakan rasa dalam benda-benda. Jadi, segala daya dipastikan tindakannya
hanya memalui dukungan Agni.
Dewa utama ketiga adalah soma, yakni dewa minuman
yang menyegarkan. Dalam kitab Weda, soma adalah figure bagi kenikmatan Ilahi,
prinsip kebahagiaan darimana eksistensi yang mempertahankan substansi. Dalam
Taittirinya Upanishad, ananda dikatakan sebagai atmosfir eteris kenikmatan yang
mutlak untuk mempertahankan keberadaan semua. Tanaman mistik soma menyimbolkan
unsure di balik aktifitas indrawi dan kenikmatannya akan memberikan esensi
Ilahi. Anggur soma menyimbolkan penggantian kenikmatan inderawi dengan
kenikmatan ilahi. Substansi ini terjadi melalui transormasi tindakan dan
pikiran kea rah yang ilahi. Jadi, soma adalah rajanya anggur kenikmatan, yakni
anggur keabadian.
Ada banyak dewa yang bertugas di wilayah surgawi,
udara dan bumi. Varuna misalnya adalah dewa yang mengesankan dan bertugas di
wilayah surgawu; Indra di wilayah udara; dan Agni di wilayah bumi. Varuna
merupakan personifikasi dari udara, terang serta gelap, dan kemudian lautan.
Nama Varuna diturunkan dari akar “Vr” artinya meliputi, mencakup seperti
langit. Karenanya dalam Rig-Weda dia adalah dewa yang meliputi atau mencakup
semuanya. Varuna adalah Tuhannya kaum Aryan dan memiliki posisi yang mirip
dengan Ahurnya pengikut Avesta. Varuna dianggap suci, maha baik
dan masa pengampunan; dia mengampuni dosa-dosa pemujanya yang bertobat. Sebagai
dewa maha pengampun, Varuna seringkali dibandingkan dengan Yahwe
dalam Perjanjian Lama.
Agama Rig-Weda terdiri atas pemujaan (pemberian
sesajen) pada berbagai dewa, yang seringkali dituangkan dalam api untuk dibawa
kea lam dewata di wilayah surgawi. Peran ritual dalam agama Weda tidak dapat
diremehkan. Karena diperkirakan bahwa hidupnya kembali teks-teks Weda mungkin
disebabkan oleh penggunaannya dalam ritual.
III. Masa Klasik (300 SM-1000 M)
Spekulasi canggih serta mistisisme intelektual
ternyata tidak dapat memuaskan aspirasi religious manusia biasa. Reaksi ini
diikuti oleh spekulasi kelompok kecil arif bijaksana yang memisahkan diri
dengan cirri-iri sebagai berikut :
1. Penekanan pada moralitas, pengendalian diri dan
kerja yang baik.
2. Interpretasi yang rasional terhadap masalah
kehidupan manusia.
3.
Penolakan
terhadap ritualisme serta meghormati kehidupan dunia hewan.
4. Kepercayaan terhadap Tuhan personal, kepada siapa
manusia dapat memuja dan mempersembahkan devosinya.
Jika para pertapa dan arif bijaksana membimbing
beberapa murid terpilih dalam menjalankan mistisisme metafisis, maka kasta
Brahmana mengembangkan teks-teks ritual rumit yang dikenal sebagai sutra.
Reaksi popular tercermin dalam gerakan-gerakan seperti: Budhisme, Jainisme,
Shaivisme, dan Vaishnavisme.
Terdapat dua bentuk reaksi terhadap ritual kurban
model Weda, yakni: eksternal dan Internal. Teks-teks Upanishad yang mengkritisi
tradisi sebelumnya, namun masih tetap mendudukkan serta mengidentifikasikan
diri dengan Weda. Namun, pada abad ke 6 SM, di India muncul dua gerakan utama
yang mendudukkan diri mereka di luar kekolotan hukum Weda, yakni Budhisme dan
Jainisme. Dalam menghadapi tantangan inilah Hinduisme lantas mulai
meredefinisikan dirinya. Budhisme dan Jainisme memang menolak otoritas atau tradisi
Weda, terutama mengenai komitmen terhadap tujuan serta kehidupan duniawi,
institusi kasta dan tahap-tahap kehidupan, paling tidak sebagian, jika tidak
seluruhnya. Hinduisme merumuskan dirinya dalam menghadapi tantangan ini, dengan
menyatakan validitas Weda serta hukum kasta dan tahap-tahap hidup. Pada
mulanya, gesakan Budhisme dan Jainisme menarik banyak perhatian prang dan
menjadi kekuatan yang cukup besar. Jika kita elihat bukti-bukti arkeologis dari
abad ke 2 SM, sampai abad ke 2 M, maka bukti menunjukan bahwa gelombang pasang
sedang memihak pada Budhisme, dan sejumlah besar orang asing yang masuk ke
India pada waktu itu juga menjadi pengikut Budhisme.
Namun lambat laun gelombang pasang tersebut
berbalik. Pendirian dinasti Gupta di India Utara sekitar 300 M, memberikan
tanda kebangkitan kembali Hinduisme. Pada abad ke 10. Hinduisme telah berhasil
secara gemilang mendudukkan diri sebagai agama dominan di India.
Budhisme dan Jainisme
Bersama-sama dengan kaum Materialis, ketiga
alitan ini disebut nastika, artinya tidak menerima otoritas Weda. Mereka
juga dimasukan ke dalam golonga heterodoks (tidak ortodoks). Sedangakan
ke enam aliran filsafat (Shad Darsana) yang disebut astika adalah yang
menerima otoritas Weda dan disebut juga sebagai golongan ortodoks. Keduanya
mengajarkan dikrtin etika yang menekankan kesucian kehidupan hewani, sehingga
berada diluar jangkauan Hinduisme kolot, karena penolakan mereka terhadap Weda
sebagai kitab suci.
Shaivisme
dan Vaishnavisme
Kedua aliran ini merupakan gerakan teistik yang
sulit dilacak asal-usulnya dan memainkan peran sangat penting dalam
perkembangan Hinduisme berikutny. Shaivisme atau agama Shiva tampaknya mulai
sekitar abad ke 6 SM, dengan menyembah dewa Rudra dalam kitab Weda. Namun
segera dewa Rudra digantikan oleh Shiva yang merupakan dewa kaum non-Aryan.
Perkembangan agama pouler membentuk sebuah
tantangan begi tradisi ritual Weda serta mistisisme metafisis awal. Untuk
memenuhi tantangan ini, maka para ritualis dan metafisikawan mulai merumuskan
fondasi rasional posisi mereka. Dari usaha untuk merasionalisasikan serta
menyistematisasikan ini melahirkan berbagai system filsafat India. Ada enam
system (Sad-darsana), yakni: Nyaya, Vaisheshika, Samkhya, Yoga,
Purva-Mimamsa dan Vedanta.
IV.
Masa
Pertengahan (1000-1800 M)
Ciri utama masa ini menunjukkan fakta bahwa Islam
memberikan sebuah konteks mendasar bagi perkembangan Hinduisme sebagai teks.
Pendukung Alberuni, Mahmud Ghazni memimpin tujuh belas serangan yang gemilang
ke India dan mematahkan perlawanan orang-orang Hindu dengan mudah. Dia lebih
tertarik untuk menghancurkan kota-kota daripada membangun kerajaan. Pada tahun
1192, pengusaha utama Rajput di Utara dikalahkan dan dibunuh oleh Muhammad
Ghuri, dan pada tahun 1200, dinasti Budak telah mendirikan aturan muslim di
India Utara dan berakhir sampai 1858.
Hinduisme berkembang dengan baik, sampai
kedatangan Islam, dalam mengakomodasikan, jika bukan menyerap semua tantangan
dalam bentuk agresi dari luar dan perpecahan dari dalam. Islam memberikan
pengaruh ganda bagi Hinduisme. Di satu pihak, Islam menganjurkan perpindahan
agama; di pihak lain, islam mendorong kecendrungan yang lebih egaliter dan
monoteistik bagi kaum Hindu. Kemudian muncul tokoh-tokoh yang berusaha untuk
menjembatani jurang pemisah antara keduanya. Sebagai contoh adalah Kabir (abad
ke 15), Guru Nanak (1469-1538), Dadu (1544-1603).
Kabir menulis sekumpulan kidung yang dikenal
sebagai Bijak; Dadu, pengikut Kabir dan pendiri Parabrahmana-sampradaya,
bermaksud menyatukan semua agama menjadi satu. Dia mengarahkan para pengikutnya
untuk mengumpulkan semua teks devosional dari berbagai aliran menjadi satu
kesimpulan. Tulsidas (1532-1623) adalah penulis teks Ramayana dalam versi
bahasa Hindi (Rama-carita-manasa) dan Vinaya-pratrika; Guru Nanak
(1469-1538) menulis teks suci kaum Sikh (Granth Sahib), yang berisi
kidung-kidung yang ditulis oleh guru-guru mereka serta orang-orang religious
lainnya, baik Hindu maupun Muslim.
Memang ada interaksi antara Islam mistis dan
Hinduisme, namun ajaran utama Hinduisme menarik diri ke dalam kerang pelindung;
dan secara mendasar berada dalam cengkeraman keputusasaan politik, sehingga
berbalik kea rah penghiburan spiritual pada Tuhan. Hal ini terlihat dengan
berkembangnya gaya hidup sebagai pertapa atau pengunduran diri dari kehidupan
duniawi. Kehidupan sannyasin menjadi semacam pelarian diri, seperti yang
dilihat dengan jelas oleh guru Nanak. Pada sekitar abad ke 16, ke ekstriman
Hinduisme terlihat jelas dalam karya-karya puisi devosional dengan kualitas
sensasional, yang gerakannya diwakili oleh Surdas, Tulsidas, Mirabai, dan
lain-lain.
Gerakan Caitanya pada abad ke 15, yang
menekankan pembacaan Weda secara umum, merupakan sebuah usaha untuk
menghindarkan Hinduisme agar tidak menjadi agama rumah dan perapian saja.
Gerakan devosional ini menekankan kekuatan penyelamatan dalam nama
Tuhan-terutama Krishna dan Rama, sehingga berpuncak pada pernyataan paradox
bahwa nama Tuhan adalah lebih besar dari Tuhan sendiri. Gerakan devosional ini
dikatakan berasal dari India Selatan, dimana para deviti Wishnu dan Shiwa sudah
mencapai puncaknya pada abad ke 9. Sekarang kita akan pindah kewilayah India
Selatan.
Islam masuk ke wilayah India Selatan dengan
disingkirkannya Deogiri oleh Malik Kafur pada 1307. Namun reaksi kaum Hindu di
Selatan cukup menarik dan berbeda. Sejarah mencatat bahwa ketiga aliran utama Wedanta
yang diwakili oleh Shankara (abad ke 9), Ramanuja (abad ke 12) dan Madhva (abad
ke 13) muncul di Selatan. Walaupun pemikiran Ramanuja dan Madhva adalah lebih
bersifat teistik, namun masih tetap mengikuti konsep filsafat Wedanta
dan bukan hanya bersifat devosional saja. Wilayah selatan menunjukkan kekuatan
serta vitalitas lebih besar, bukan hanya secara religious, namun juga secara
politis. Hal ini disebabkan adanya kerajaan Vijayanagar yang berkuasa dari abad
ke 14 sampai abad ke 17.
Gerakan devosional (bhakti) di Maharastra
(wilayah Barat India) mengambil dua bentuk, yakni: varakari dan dharakari.
Bentuk dharakari lebih bersifat aktif dan devosional, dimana salah satu
tokohnya adalah Ramdas yang menjadi guru Shivaji (1627-1680). Dibawah
kepemimpinan Shivaji inilah kerajaan Marathas menjadi sebuah kekuatan politik
yang kuat dan menggantikan kekuatan Muslim di Selatan.Bentuk varakari
melahirkan nama-nama besar penyair santo diwilayah Barat India, seperti Namadev
dan Tukaram. Gerakan bhakti menyebar ke seluruh wilayah India serta
menghasilkan penyair.
Ciri paling meninjol pada masa Muslim (1200-1757)
ini adalah berkembangnya agama Wisnu. Dua nama besar dari Selatan adalah
Vallabha (1479-1531) dari India Selatan dan Caitanya (1486-1533) dari wilayah
Bengal. Keduanya mengajarkan jalan devosi yang berpusat pada Krishna dan Radha.
Pengaruh Islam dapat dilihat dari gerakan
religious di India Utara dengan cirri monoteisme ketat, tanpa menghiraukan perbedaan
kasta dan menolak pemujaan terhadap imaji (patung, gambar). Sebagai contoh
adalah Kabir yang mengajarkan sebuah agama univetsal berdasarkan pada realisasi
personal akan Tuhan yang tinggal di dalam hati manusia. Kemudian, Guru nanak
(1469-1538) mendirikan agama Sikh (1469-1538) yang berusaha menyelaraskan Islam
dan Hindu.
V.
Masa
Modern (1800-1947)
Pengaruh kebudayaan Barat memberikan dampak
menentukan bagi Hinduisme. Wakaupun Hinduisme popular dan tradisional tetap
menguasaan masyarakat umum, nmaun orang-orang terpelajar sangat dipengaruhi ole
hide-ide baru yang datang dari Barat. Rasionalisme dan Positivisme cukup
memikat pikiran orang-orang yang tidak puas dengan Hinduisme tardisional.
Berbagai gerakaan reformasi dimulai, dimana Brahma-Samaj, Arya-Samaj dan
Ramakrishna Mission merupakan
gerakan yang paling penting. Secara umum dapat dikatakan bahwa hubungan dengan
Barat telah membuat penganut Hinduisme lebih sadar akan keniscayaan untuk
menyesuaikan diri dengan mentalitas modern.
Masuknya orang-orang Inggris sebagai penjajah
membuat Hinduisme menghadapi situasi yang berbeda secara kualitatif. Masuknya
penguasa Inggris mengurangi kekuataan Islam, namun Hinduisme harus menghadapi
sebuah jejuasaan baru, yakni agama Kristen. Pada saan yang sama, Hinduisme
dihadapkan dengan sebuah ancaman baru, yakni: sains, sekularisme dan humanism.
Justru melalui inisiatif orang-orang Barat, pengetahuan tentang Hinduisme
ditemukan kembali dan termasuk studi atas kitab Weda.Dampak bagi pengikut
Hinduisme tampak dari pernyataan seorang tokoh nasionalis seperti Swami
Vivekananda bahwa Max Muller yang mengedit Rig-Weda dimasa modern mungkin
adalah reinkarnasi dari Sayana di masa kerajaan Vijayanagar.
Walaupun ada sejumlah unsure yang harus
dipertimbangkan untuk menjelaskan kebangkitan kembali Hindu setelah tahun 1800,
namun dari sisi Hindu sebagai sebuah system religious, orang harus mengenali
peranan Weda dalam proses tersebut. Pada masa reormasi awal, justru isu tentang
weda dan otoritas Weda muncul kembali ke permukaan. Tokoh reformasi Hindu
pertama adalah Raja Rammohun Roy berusaha untuk membenarkan monoteisme yang
berbasis Wedanta. Sekitar 1830, dia mendirikan gerakan Brahmo Samaj
di wilayah Bengal untuk melanjutkan perjuangannya. Kemudian di akhir abad ke
19, Swami Dayananda Saraswati mendirikan gerakan Arya Samaj di Bombay,
memperkuat keabsolutan Weda yang telah dicetuskan oleh gerakan Brahmo Samaj.
Menjelang akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20,
perkembangan Hinduisme mengalami sebuah proses pembalikan. Pada perkembangan
sebelumnya, tradisi Hinduisme memperkeras posisinya untuk mempertahankan
otoritas Weda karena di bawah tekanan Bidhaisme, Jainisme dan Materialisme. Di
masa modern, walaupun Hinduisme sekali lagi mendapat tekanan dari sumber
Kristiani yang rasional, modernis dan reformis, Hinduisme tidak bereaksi dengan
cara yang sama. Hinduisme sekarang meninggilan pengalaman religious diatas
otoritas religious dan tidak lagi terikat pada otoritas Weda. Sri Ramakrishna
kadangkala melakukan penolakan terhadap Weda dan hanya menggunakannya sebagai
sebuah simbol.Kemudian Swami Vivekananda juga pada saat tertentu meremehkan
otoritas Weda yang begitu kuat bagi kaum Hindu.
Hampir semua tokoh-tokoh religious dimasa Modern
seperti B.G Tilak (1856-1920), R. Tagore (1861-1941), Sri Aurobindo
(1872-1950), dan Mahatma Gandhi (1869-1948). Semuanya mengambil inspirasi
mereka dari Weda, walaupun bukan dari otoritas Weda, dan bahkan Sri Ramana
Maharshi mewajibkan pembacaan Weda secara teratur di Ashram
Tiruvannaamalai.[8]
VI.
Zaman Kemerdekaan
India
Soal pertama yang harus dipecahkan setelah India
dan Pakistan menjadi Negara merdeka dan berdaulat pada 15 Agustus 1947 ialah
pembagian daerah dan pemindahan penduduk yang ingin atau yang dipaksa pindah
dari Negara yang satu kenegara yang lain.
Pemindahan
orang yang berjuta-juta itu dilaksanakn oleh pemerintahan India dan Pakistan
yang dalam usaha itubekerja segiat-giatnya dengan bantuan organisasi-organisasi
sosial dan amal dan pasukan sukarela. Disamping itu tentu ada juga pemindahan
secara liar dan atas tanggungngan sendiri dan disinilah Nampak kegelisahan yang
menyedihkan sekali.
Hingga
bulan November 1947 pemerintahan India mempergunakan 673 buah kereta api yang
mengangkat 2,8 juta orang pelarian dari daerah Negara Pakistan ke India,
setengah juta orang diangkut dengan kendaraan militer, 30.000 dengan kapal
udara. Rata-rata dapatlah dipindahkan 50.000 orang sehari. Akan tetapi bagian
yang terbesar dari orang pelarian itu berjalan kaki, sebab mereka membawa
barangnya.
Masa
penyusunan Negara baru yang penuh kesukaran-kesukaran dan diberatkan lagi oleh
pemindahan rakyat dari daerah-daerah yang diserahkan kepada Pakistan meminta
kebijaksanaan yang luar biasa dari pemerintah. Di Delhi pergaduhan tidak
terhambat lagi diantara kaum-kaum pelarian yang hendak membalas dendamnya atas
golongan Muslimin, akan tetapi dengan usaha Mahatma Gandhi kegelisahan itu
dapat diteduhkan dalam beberapa hari. [9]
Daftar
Pustaka
Ali,
Matius. Filsafat India: Sebuah pengantar Hinduisme dan Budhisme,
Tangerang: Sanggar Luxor. 2010
Ali,
Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988
Hadiwijono,
Harun. Agana Hindu dan Budha. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. 2008
Honig,
A. G. Ilmu Agama. Jakarta: Gunung Mulia. 1997
Molia¸
G. India: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Balai
Pustaka Jakarta. 1959
[1] Mukti Ali, Agama-Agama
di Dunia ( Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h.55
[2] Matius Ali, Filsafat
India: Sebuah pengantar Hinduisme dan Budhisme, (Tangerang: Sanggar Luxor,
2010), h. 16
[3] G. Molia¸ India:
Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan, (Jakarta: Balai Pustaka Jakarta,
1959), h. 318
[4] Harun Hadiwijono, Agana
Hindu dan Budha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2008), h. 11
[5] Harun Hadiwijono, Agana
Hindu dan Budha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2008), h. 17
[6] Matius Ali, Filsafat
India: Sebuah pengantar Hinduisme dan Budhisme, (Tangerang: Sanggar Luxor,
2010), h. 17
[7] A.G. Honig, Ilmu Agama
(Jakarta: Gunung Mulia, 1997), h. 79
[8] Matius Ali, Filsafat
India: Sebuah pengantar Hinduisme dan Budhisme, (Tangerang: Sanggar Luxor,
2010), h. 19-28
[9] G. Molia¸ India:
Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan, (Jakarta: Balai Pustaka Jakarta,
1959), h. 318
Tidak ada komentar:
Posting Komentar