Kitab Suci
( Sruti dan Smriti ), Kitab Brahmana dan Kitab Anyaraka
Noviah
1111032100045
I.
Pendahuluan
Dalam agama Hindu ada kepercayaan bahkan agama itu “diwahyukan”
melalui “orang-orang yang melihat” , yang disebut Resi. Karena Resi adalah orang-orang yang telah “mendengar”,
pengetahuan tadi lalu sering disebut dengan “sruti”. Apa yang didengar biasanya
lalu dijadikan teks-teks, yang adakalanya disebut dengan mantra-mantra yang
sangat dipentingkan dalam melakukan meditasi; juga sering dikatakan sebagai
“kemampuan menyelamatkan akal pikiran”.
Kitab dalam agama Hindu adalah tulisan keagamaan yang paling
tua dan dan paling besar didunia. Sangatlah sulit untuk mengklasifikasikan dan
menyatakan kapan kitab-kitab ini ditulis dengan benar karena terdapat banyak
penulis yang terlibat dalam kurun waktu ribuan tahun. Dan juga, kebiasaan yang
ada pada zaman dahulu bahwa seorang penulis tidak akan menuliskan nama mereka
pada hasil karyanya yang juga mempersulit masalah ini.
Namun, semua itu tidak
menyurutkan niat penulis untuk membuat makalah ini. Dan untuk memudahkan
pembaca dalam memahami materi tersebut,
penulis berusaha menerangkan sesuai kemampuan penulis.
II. Kitab Suci
a)
Kitab Sruti ( Weda )
Kitab Sruti termasuk kitab utama dari agama Hindu
yaitu Weda. Weda mengajarkan ajaran tertinggi yang diketahui oleh manusia, dan
membentuk sumber yang mutlak dalam Agama Hindu. Kata Veda diambil dari kata
“Vid” yang berarti “mengetahui”. Sruti dalam bahasa sanskerta berarti “apa yang
didengar”.[1]
Veda ini adalah kebenaran yang abadi dimana pengamat weda, yang disebut dengan
para Resi, yang mendengar wahyu ini ketika mereka melakukan meditasi yang
mendalam. Weda bukanlah hasil dari pemikiran manusia, tetapi ungkapan apa yang
disadari melalui persepsi intuisi oleh para Resi Weda, yang memiliki kekuatan
yang dianggap berasal dari Tuhan.
Kaum Resi menerima wahyu ini atau mendengarnya,
dan kemudian direkam dalam empat Weda.
Weda-weda tersebut adalah Rig Weda, Sama
Weda, Yajur Weda, dan Atharwa Weda.
Wahyu ini dimunculkan dalam kesadaran para guru, dan pengalaman-pengalaman,
intuisi-intuisi mereka, apa yang mereka dengarkan tentang Yang Ilahi dimuat
dalam teks empat kitab Weda tersebut. Wahyu
Weda, dan oleh karenanya Weda
sendiri dirujuk sebagai Sruti, atau
“yang didengarkan”; ini kemudian ditambah dengan Smriti, atau “kenangan” yaitu tradisi.[2]
Kehidupan keagamaan umat Hindu didasarkan pada
naskah suci yang disebut Weda Samhita,
yang mereka yakini sebagai ciptaan Brahma. Hanya para resi saja yang mampu
menerima isi Weda tersebut. Isi Weda pada mulanya berbentuk mantra-mantra,
kemudian disusun dalam bentuk puji-pujian. Keempat Kitab Suci Weda Samitha
tersebut yaitu:[3]
1)
Rig
Weda.
Rigweda berasal dari kata “rig” yang berarti memuji. Kitab ini berisi 1000 puji-pujian
kepada para dewa dalam bentuk kidung, dan masing-masing kidung (sukta) terbagi dalam beberapa bait.
Bagian akhir Rig Weda membicarakan perawatan orang mati, pembakaran dan
penguburannya. Menurut umat Hindu, Rig Weda ini sangat penting . didalamnya
terdapat pengertian dan isyarat akan agama yang monoteistis dengan falsafah
yang monistik. Arah monoteisme tersebut muncul sekitar Dewa Prajapati, tuhan
Pencipta. Akan tetapi monoteisme disini belum dalam pengertian yang tajam
seperti pengertian monoteisme modern.
2)
Sama
Weda.
Sama Weda merupakan suatu bunga-rampai Rig Weda, dan sangat menekankan pada
tanda-tanda irama musik. Tanda-tanda musik ini kemudian memunculkan musik Karnatik India, music
klasik India yang asli. Music Karnatik berhubungan dengan lagu pengabdian pada
para dewa dan didasarkan atas tujuh suara: Sa,
Re, Ga, Ma, Pa, Dha dan Ni. Kombinasi
dan permutasi dari tujuh suara ini digunakan untuk menciptakan irama yang
dikenal dengan raga. Sama Weda
terdiri dari 1.549 bait. Puji-pujian dinyanyikan diikuti dengan irama musikoleh
para pendeta yang disebut udgatar,
dan biasanya dilakukan pada waktu upacara korban diselenggarakan.
3)
Yajur
weda.
Weda ini tidak hanya memuat mantra-mantra dan persembahan Soma saja, akan
tetapi juga mantra-mantra yang diucapkan dalam beberapa upacara kecil. Yajur
weda memiliki hubungan yang sangat erat dengan Rig weda dan Sama Weda, dan
ketiganya sering disebut dengan “Tri-Wedi”.
4)
Atharwa-weda. Para Atharwan
adalah golongan pendeta tersendiri. Dalam Weda ini dijumpai lagi kidung-kidung
yang harus diucapkan pada waktu mempersembahkan Soma. Isi Atharwa Weda berupa
mantra-mantra magis dan doa-doa yang bunyi dan artinya sendiri sudah dianggap
sudah memiliki kekuatan.
Beberapa
contoh nyanyian Rig Weda:[4]
POSYAN, DEWA TEMPAT GEMBALA
1. Hai Posyan, dewa masa
keemasan,
Istana engkau, dan lembah jalan
pengembala,
Engkau dapat mengalahkan setiap
musuh asing,
Jadikanlah jalan kami aman dari
segala bahaya,
Hai Posyan, hai pengendara awan !
Tunjukilah kami selamanya,
sebagaimana engkau menunjuki kami sebelum ini.
2. Binasakanlah serigala liar
yang jahat itu,
Yang bersembunyi didalam gelap diselat yang
sempit,
Dan binasakanlah setiap perampok dan pencuri,
Yang akan beranak pinak untuk membinasakan
dan menghabiskan hayat kami.
Posyan, pengendara awan !
Tunjukilah kami, sebagaimana engkau tadinya
telah menunjuki kami.
3. Barulah dalam murkamu, hai
Posyan,
Segala perampok yang menjarah kami, di
jalan-jalan yang tidak dilalui orang.
Yang mempunyai hati keras tidak menaruh
kasihan,
Membunuh dengan anak panahnya yang tidak
kelihatan,
Hai anak awan, tunjukilah kami selamanya,
Sebagaimana tadinya engkau menunjuki kami.
Demikianlah beberapa contoh tentang puji dan
pujian pengikut-pengikut Rig Weda kepada Tuhan yang disini disebut dengan Dewa,
akan tetapi melihat kepada modusnya, maka Tuhan tersebut adalah memiliki alam ini,
alam atas dan bawah, alam lahir dan bathin, yang menyatakan kepada kita bahwa
Tuhan mereka adalah tinggi, tetapi penuh dengan berbagai kabut kemusyrikan,
sesuai dengan perkembangan pengetahuan beragama yang baru ada pada masa itu.
Ataupun pada masa itu telah baik, tetapi perkembangan kitab-kitab kemudian
harinya telah membawa apa yang sampai kepada kita telah terjadi berbagai
perubahan atasnya, sebagaimana yang biasanya kita dapati dan ketahui adanya.[5]
b) Kitab Smriti
Smriti
berarti “Yang diingat”. Kitab Smriti berasal dari Weda dan dianggap berasal
dari manusia bukan dari Tuhan. Smriti ditulis untuk dan menjelaskan Weda,
membuat Weda dapat dimengerti dan lebih berarti bagi manusia pada umumnya.
Semua sumber tulisan selain Weda dan Baghavad Gita secara kolektif disebut
dengan Smriti.[6]
1)
Dharma
Sastra. Tulisan ini menggambarkan tentang peraturan dalam tingkah
laku manusia yang benar, kesehatan pribadi, administrasi social, etika dan
kewajiban moral. Dharma Sastra yang paling terkenal adalah Manu Smriti atau
Kode manu, yang terdiri dari 2.694 stanza dalam 12 bab. Manu, nenek moyang
ke-65 (inkarnasi dari Tuhan dalam bentuk manusia) Rama, yang menggambarkan
tingkah laku dasar untuk mengendalikan diri, tidak melukai, penuh kasih dan dan
terikat, yang ditekankan sebagai syarat untuk membentuk masyarakat yang baik. Manu Smriti, adalah kode hokum untuk
hidup dengan benar, yang secara terus menerus mendominasi kehidupan etika orang
Hindu.
2)
Nibandha.
Nibandha adalah bacaan, pedoman, dan ensiklopedia hokum Weda yang menyingggung
tentang tingkah laku manusia, pemujaan dan ritual. Nibandha juga membahas
tentang topic pemberian hadiah, tempat perziarahan suci, dan menjaga tubuh
manusia.
3)
Purana. Purana
membentuk sebagian besar kesustraan Smriti. Purana ini muncul dalam bentuk
pertanyaan dan jawaban, dan menjelaskan ajaran bawah sadar dari Weda melalui
cerita dan legenda dari raja zaman dahulu, pahlawan, dan sifat-sifat
kedewataan. Purana adalah merupakan alat yang sangat terkenal untuk mengajarkan
ajaran keagamaan.
4)
Epos
(Cerita Kuno). Dua epos (itihasa) yang paling terkenal dalam
agama Hindu adalah Ramayana dan Mahabhrata. Epos ini adalah cerita yang paling
terkenal diantara orang Hindu.
5)
Agama
atau Tantara. Agama, juga dikenal dengan Tantra, adalah kitab
sekterian dari tiga theology Hindu yang utama dalam tradisi agama Hindu, yang
bernama Vaisnavism, Sivism, dan Saktism. Vaisnava-Agama memuja kenyataan yang mutlak sebagai Dewa
Visnu; Siva-Agama yang memuliakan kenyataan Mutlak yang disebut dengan Dewa
Siva;,dan Sakti-Agama yang menyatakan bahwa kenyataan mutlak itu adalah Ibu
Mulia jagat raya ini.
6)
Vedanga.
Vedanga
berarti “penggerak Weda”. Vedanga terdiri dari enam bagian dan juga dianggap
sebagai tambahan Weda pada bagian tertentu. Keenam bagian dari Vedanga tersebut
membahas tentang hal berikut: Siksa
(pengucapan yang benar), Chanda
(ukuran), Nirukta (etimologi), Vyakarana (tata bahasa), Jyotisa (astronomi), dan Kalpa (peraturan dalam melaksanakan
upacara dan ritual).
7)
Darsana.
Kesusastraan keagamaan dibagi menjadi dua bagian, heterodok dan orthodok.
Pemikiran heterodok menolak sumber-sumber Weda dan termasuk didalamnya
Buddhisme, Jainisme, dan Carvaka (materialistis). Sedang kelompok orthodok
menerima Weda dan kesustraan Weda sebagai sumber ajaran. Kedua pemikiran ini
didasarkan pada kesusastraan Weda.
Setiap Darsana atau pemikiran memiliki atribut tulisan penulisnya, termasuk
didalamnya sejumlah komentar yang ditulis oleh pengikut dari pemikiran ini.
III. Kitab Brahmana dan
Anyaraka
Berbeda
dari naskah atau kitab Samhita, kitab Brahmana disusun oleh para pendeta
Brahmana sekitar abad ke-8 SM. Untuk menjelaskan tentang daya kekuatan korban.
Dengan kata lain, kitab tersebut bukanlah kitab puji-pujian kepada para dewa,
tetapi merupakan kitab yang berisi keterangan-keterangan dari para brahmana
tentang korban dan sesaji. Uraian-uraian didalamnya banyak yang membosankan dan
sukar dipahami padahal pikiran dasarnya justru sangat sederhana.
Keterangan-keterangan tersebut disertai dengan mitos dan legenda tentang
manusia dan para dewa dengan memberikan ilustrasi ritus-ritus korban.[7] Brahmana
juga menekankan dan membahas upacara pengorbanan dan teknik yang benar dalam
pelaksanaannya. Termasuk penjelasan dalam menggunakan mantra dalam upacara dan
menimbulkan kekuatan mistik dari pengorbanan itu. Bagian ini disebut dengan
Brahmana karena mereka membahas tugas dari para Brahim (pendeta) yang melakukan
pada saat upacara pengorbanan.[8]
Pada
bagian akhir kitab Brahmana terdapat tambahan, kemudian tambahan inilah yang
disebut sebagai kitan Anyaraka. Kitab
ini berisi tentang renungan sekitar masalah korban sehingga dianggap sakti.
Karena itu mempelajarinya harus ditempat-tempat yang jauh dari tempat tinggal
manusia, yaitu ditengah-tengah hutan, Aranya
= hutan. Aranya (“kitab yang berasal dari hutan”; yaitu buku yang
dihasilkan dengan bermeditasi di hutan yang sepi) yang menandai transisi dari
pengorbanan Brahmanikal menuju filsafat dan spekulasi metafisika, yang kemudian
dimuat dalam Upanisad. Aranyaka terdiri dari interpretasi mistik dari mantra
dan upacara, yang disatukan pada saat mengasingkan diri di hutan, yang
menimbulkan kedisiplinan. Pengetahuan yang didapat oleh para asketis ini
dianggap sebagai wahyu.[9]
IV. Daftar Pustaka
Abbas,
Zainal Arifin. Perkembangan Pikiran
Terhadap Agama. Jakarta: Al-Husna, 1984.
Ali,
Mukti. Agama-agama di Dunia.
Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998.
Honing.
A.G. Ilmu Agama. Jakarta: Gunung
Mulia, 1997.
Pandit,
Bansi. Pemikiran Hindu. Surabaya:
Paramita, 2006.
Ruslani. Wacana Spiritualitas Timur dan Barat.
Yogyakarta: Qalam, 2000.
[1] Bansi Pandit, Pemikiran Hindu (Surabaya: Paramita,
2006), h. 22
[2] Ruslani, Wacana Spiritualitas Timur dan Barat (Yogyakarta:
Qalam,2000), h.92
[3] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1998), h. 60
[4] Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama (Jakarta:Al-Husna,1984),
h.196
[5] Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama
(Jakarta: Al-Husna,1984), h.198
[6] Bansi Pandit, Pemikiran Hindu (Surabaya:
Paramita,2006), h.33
[7] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press,1988), h. 66
[8] Bansi Pandit, Pemikiran Hindu (Surabaya: Paramita,
2006), h.27.
[9] Bansi Pandit, Pemikiran Hindu (Surabaya: Paramita,
2006), h. 27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar