Laman

Fitri Astuti Perbandingan Agama 3

Fitri Astuti Perbandingan Agama 3
Blog ini dibuat sebagai bahan pembelajaran saya pada Mata Kuliah Hinduisme

Rabu, 12 Desember 2012

Kumpulan Makalah




Kitab Suci ( Sruti dan Smriti ), Kitab Brahmana dan Kitab Anyaraka
Noviah
1111032100045
                        I.      Pendahuluan

Dalam agama Hindu ada kepercayaan bahkan agama itu “diwahyukan” melalui “orang-orang yang melihat” , yang disebut Resi. Karena Resi adalah orang-orang yang telah “mendengar”, pengetahuan tadi lalu sering disebut dengan “sruti”. Apa yang didengar biasanya lalu dijadikan teks-teks, yang adakalanya disebut dengan mantra-mantra yang sangat dipentingkan dalam melakukan meditasi; juga sering dikatakan sebagai “kemampuan menyelamatkan akal pikiran”.
Kitab dalam agama Hindu adalah tulisan keagamaan yang paling tua dan dan paling besar didunia. Sangatlah sulit untuk mengklasifikasikan dan menyatakan kapan kitab-kitab ini ditulis dengan benar karena terdapat banyak penulis yang terlibat dalam kurun waktu ribuan tahun. Dan juga, kebiasaan yang ada pada zaman dahulu bahwa seorang penulis tidak akan menuliskan nama mereka pada hasil karyanya yang juga mempersulit masalah ini.
Namun, semua  itu tidak menyurutkan niat penulis untuk membuat makalah ini. Dan untuk memudahkan pembaca dalam memahami materi  tersebut, penulis berusaha menerangkan sesuai kemampuan penulis.

       II.      Kitab Suci

a)    Kitab Sruti ( Weda )
Kitab Sruti termasuk kitab utama dari agama Hindu yaitu Weda. Weda mengajarkan ajaran tertinggi yang diketahui oleh manusia, dan membentuk sumber yang mutlak dalam Agama Hindu. Kata Veda diambil dari kata “Vid” yang berarti “mengetahui”. Sruti dalam bahasa sanskerta berarti “apa yang didengar”.[1] Veda ini adalah kebenaran yang abadi dimana pengamat weda, yang disebut dengan para Resi, yang mendengar wahyu ini ketika mereka melakukan meditasi yang mendalam. Weda bukanlah hasil dari pemikiran manusia, tetapi ungkapan apa yang disadari melalui persepsi intuisi oleh para Resi Weda, yang memiliki kekuatan yang dianggap berasal dari Tuhan.
Kaum Resi menerima wahyu ini atau mendengarnya, dan kemudian direkam dalam empat Weda. Weda-weda tersebut adalah Rig Weda, Sama Weda, Yajur Weda, dan Atharwa Weda. Wahyu ini dimunculkan dalam kesadaran para guru, dan pengalaman-pengalaman, intuisi-intuisi mereka, apa yang mereka dengarkan tentang Yang Ilahi dimuat dalam teks empat kitab Weda tersebut. Wahyu Weda, dan oleh karenanya Weda sendiri dirujuk sebagai Sruti, atau “yang didengarkan”; ini kemudian ditambah dengan Smriti, atau “kenangan” yaitu tradisi.[2]
Kehidupan keagamaan umat Hindu didasarkan pada naskah suci yang disebut Weda Samhita, yang mereka yakini sebagai ciptaan Brahma. Hanya para resi saja yang mampu menerima isi Weda tersebut. Isi Weda pada mulanya berbentuk mantra-mantra, kemudian disusun dalam bentuk puji-pujian. Keempat Kitab Suci Weda Samitha tersebut yaitu:[3]
1)    Rig Weda. Rigweda berasal dari kata “rig” yang berarti memuji. Kitab ini berisi 1000 puji-pujian kepada para dewa dalam bentuk kidung, dan masing-masing kidung (sukta) terbagi dalam beberapa bait. Bagian akhir Rig Weda membicarakan perawatan orang mati, pembakaran dan penguburannya. Menurut umat Hindu, Rig Weda ini sangat penting . didalamnya terdapat pengertian dan isyarat akan agama yang monoteistis dengan falsafah yang monistik. Arah monoteisme tersebut muncul sekitar Dewa Prajapati, tuhan Pencipta. Akan tetapi monoteisme disini belum dalam pengertian yang tajam seperti pengertian monoteisme modern.
2)   Sama Weda. Sama Weda merupakan suatu bunga-rampai Rig Weda, dan sangat menekankan pada tanda-tanda irama musik. Tanda-tanda musik ini kemudian  memunculkan musik Karnatik India, music klasik India yang asli. Music Karnatik berhubungan dengan lagu pengabdian pada para dewa dan didasarkan atas tujuh suara: Sa, Re, Ga, Ma, Pa, Dha dan Ni. Kombinasi dan permutasi dari tujuh suara ini digunakan untuk menciptakan irama yang dikenal dengan raga. Sama Weda terdiri dari 1.549 bait. Puji-pujian dinyanyikan diikuti dengan irama musikoleh para pendeta yang disebut udgatar, dan biasanya dilakukan pada waktu upacara korban diselenggarakan.
3)   Yajur weda. Weda ini tidak hanya memuat mantra-mantra dan persembahan Soma saja, akan tetapi juga mantra-mantra yang diucapkan dalam beberapa upacara kecil. Yajur weda memiliki hubungan yang sangat erat dengan Rig weda dan Sama Weda, dan ketiganya sering disebut dengan “Tri-Wedi”.
4)   Atharwa-weda. Para Atharwan adalah golongan pendeta tersendiri. Dalam Weda ini dijumpai lagi kidung-kidung yang harus diucapkan pada waktu mempersembahkan Soma. Isi Atharwa Weda berupa mantra-mantra magis dan doa-doa yang bunyi dan artinya sendiri sudah dianggap sudah memiliki kekuatan.
Beberapa contoh nyanyian Rig Weda:[4]
POSYAN, DEWA TEMPAT GEMBALA
    1.     Hai Posyan, dewa masa keemasan,
Istana engkau, dan lembah jalan pengembala,
Engkau dapat mengalahkan setiap musuh asing,
Jadikanlah jalan kami aman dari segala bahaya,
Hai Posyan, hai pengendara awan !
Tunjukilah kami selamanya, sebagaimana engkau menunjuki kami sebelum ini.

   2.    Binasakanlah serigala liar yang jahat itu,
Yang bersembunyi didalam gelap diselat yang sempit,
Dan binasakanlah setiap perampok dan pencuri,
Yang akan beranak pinak untuk membinasakan dan menghabiskan hayat kami.
Posyan, pengendara awan !
Tunjukilah kami, sebagaimana engkau tadinya telah menunjuki kami.

   3.    Barulah dalam murkamu, hai Posyan,
Segala perampok yang menjarah kami, di jalan-jalan yang tidak dilalui orang.
Yang mempunyai hati keras tidak menaruh kasihan,
Membunuh dengan anak panahnya yang tidak kelihatan,
Hai anak awan, tunjukilah kami selamanya,
Sebagaimana tadinya engkau menunjuki kami.
Demikianlah beberapa contoh tentang puji dan pujian pengikut-pengikut Rig Weda kepada Tuhan yang disini disebut dengan Dewa, akan tetapi melihat kepada modusnya, maka Tuhan tersebut adalah memiliki alam ini, alam atas dan bawah, alam lahir dan bathin, yang menyatakan kepada kita bahwa Tuhan mereka adalah tinggi, tetapi penuh dengan berbagai kabut kemusyrikan, sesuai dengan perkembangan pengetahuan beragama yang baru ada pada masa itu. Ataupun pada masa itu telah baik, tetapi perkembangan kitab-kitab kemudian harinya telah membawa apa yang sampai kepada kita telah terjadi berbagai perubahan atasnya, sebagaimana yang biasanya kita dapati dan ketahui adanya.[5]
b)  Kitab Smriti
Smriti berarti “Yang diingat”. Kitab Smriti berasal dari Weda dan dianggap berasal dari manusia bukan dari Tuhan. Smriti ditulis untuk dan menjelaskan Weda, membuat Weda dapat dimengerti dan lebih berarti bagi manusia pada umumnya. Semua sumber tulisan selain Weda dan Baghavad Gita secara kolektif disebut dengan Smriti.[6]
1)    Dharma Sastra. Tulisan ini menggambarkan tentang peraturan dalam tingkah laku manusia yang benar, kesehatan pribadi, administrasi social, etika dan kewajiban moral. Dharma Sastra yang paling terkenal adalah Manu Smriti atau Kode manu, yang terdiri dari 2.694 stanza dalam 12 bab. Manu, nenek moyang ke-65 (inkarnasi dari Tuhan dalam bentuk manusia) Rama, yang menggambarkan tingkah laku dasar untuk mengendalikan diri, tidak melukai, penuh kasih dan dan terikat, yang ditekankan sebagai syarat untuk membentuk masyarakat yang baik. Manu Smriti, adalah kode hokum untuk hidup dengan benar, yang secara terus menerus mendominasi kehidupan etika orang Hindu.
2)   Nibandha. Nibandha adalah bacaan, pedoman, dan ensiklopedia hokum Weda yang menyingggung tentang tingkah laku manusia, pemujaan dan ritual. Nibandha juga membahas tentang topic pemberian hadiah, tempat perziarahan suci, dan menjaga tubuh manusia.
3)   Purana. Purana membentuk sebagian besar kesustraan Smriti. Purana ini muncul dalam bentuk pertanyaan dan jawaban, dan menjelaskan ajaran bawah sadar dari Weda melalui cerita dan legenda dari raja zaman dahulu, pahlawan, dan sifat-sifat kedewataan. Purana adalah merupakan alat yang sangat terkenal untuk mengajarkan ajaran keagamaan.
4)   Epos (Cerita Kuno). Dua epos (itihasa) yang paling terkenal dalam agama Hindu adalah Ramayana dan Mahabhrata. Epos ini adalah cerita yang paling terkenal diantara orang Hindu.
5)   Agama atau Tantara. Agama, juga dikenal dengan Tantra, adalah kitab sekterian dari tiga theology Hindu yang utama dalam tradisi agama Hindu, yang bernama Vaisnavism, Sivism, dan Saktism. Vaisnava-Agama memuja kenyataan yang mutlak sebagai Dewa Visnu; Siva-Agama yang memuliakan kenyataan Mutlak yang disebut dengan Dewa Siva;,dan Sakti-Agama yang menyatakan bahwa kenyataan mutlak itu adalah Ibu Mulia jagat raya ini.
6)   Vedanga. Vedanga berarti “penggerak Weda”. Vedanga terdiri dari enam bagian dan juga dianggap sebagai tambahan Weda pada bagian tertentu. Keenam bagian dari Vedanga tersebut membahas tentang hal berikut: Siksa (pengucapan yang benar), Chanda (ukuran), Nirukta (etimologi), Vyakarana (tata bahasa), Jyotisa (astronomi), dan Kalpa (peraturan dalam melaksanakan upacara dan ritual).
7)   Darsana. Kesusastraan keagamaan dibagi menjadi dua bagian, heterodok dan orthodok. Pemikiran heterodok menolak sumber-sumber Weda dan termasuk didalamnya Buddhisme, Jainisme, dan Carvaka (materialistis). Sedang kelompok orthodok menerima Weda dan kesustraan Weda sebagai sumber ajaran. Kedua pemikiran ini didasarkan pada kesusastraan  Weda. Setiap Darsana atau pemikiran memiliki atribut tulisan penulisnya, termasuk didalamnya sejumlah komentar yang ditulis oleh pengikut dari pemikiran ini.

       III.      Kitab Brahmana dan Anyaraka

Berbeda dari naskah atau kitab Samhita, kitab Brahmana disusun oleh para pendeta Brahmana sekitar abad ke-8 SM. Untuk menjelaskan tentang daya kekuatan korban. Dengan kata lain, kitab tersebut bukanlah kitab puji-pujian kepada para dewa, tetapi merupakan kitab yang berisi keterangan-keterangan dari para brahmana tentang korban dan sesaji. Uraian-uraian didalamnya banyak yang membosankan dan sukar dipahami padahal pikiran dasarnya justru sangat sederhana. Keterangan-keterangan tersebut disertai dengan mitos dan legenda tentang manusia dan para dewa dengan memberikan ilustrasi ritus-ritus korban.[7] Brahmana juga menekankan dan membahas upacara pengorbanan dan teknik yang benar dalam pelaksanaannya. Termasuk penjelasan dalam menggunakan mantra dalam upacara dan menimbulkan kekuatan mistik dari pengorbanan itu. Bagian ini disebut dengan Brahmana karena mereka membahas tugas dari para Brahim (pendeta) yang melakukan pada saat upacara pengorbanan.[8]
Pada bagian akhir kitab Brahmana terdapat tambahan, kemudian tambahan inilah yang disebut sebagai kitan Anyaraka. Kitab ini berisi tentang renungan sekitar masalah korban sehingga dianggap sakti. Karena itu mempelajarinya harus ditempat-tempat yang jauh dari tempat tinggal manusia, yaitu ditengah-tengah hutan, Aranya = hutan. Aranya (“kitab yang berasal dari hutan”; yaitu buku yang dihasilkan dengan bermeditasi di hutan yang sepi) yang menandai transisi dari pengorbanan Brahmanikal menuju filsafat dan spekulasi metafisika, yang kemudian dimuat dalam Upanisad. Aranyaka terdiri dari interpretasi mistik dari mantra dan upacara, yang disatukan pada saat mengasingkan diri di hutan, yang menimbulkan kedisiplinan. Pengetahuan yang didapat oleh para asketis ini dianggap sebagai wahyu.[9]

       IV.      Daftar Pustaka
Abbas, Zainal Arifin. Perkembangan Pikiran Terhadap Agama. Jakarta: Al-Husna, 1984.
Ali, Mukti. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998.
Honing. A.G. Ilmu Agama. Jakarta: Gunung Mulia, 1997.
Pandit, Bansi. Pemikiran Hindu. Surabaya: Paramita, 2006.
Ruslani. Wacana Spiritualitas Timur dan Barat. Yogyakarta: Qalam, 2000.





[1] Bansi Pandit, Pemikiran Hindu (Surabaya: Paramita, 2006), h. 22
[2] Ruslani, Wacana Spiritualitas Timur dan Barat (Yogyakarta: Qalam,2000), h.92
[3] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998), h. 60
[4] Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama (Jakarta:Al-Husna,1984), h.196
[5] Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama (Jakarta: Al-Husna,1984), h.198
[6] Bansi Pandit, Pemikiran Hindu (Surabaya: Paramita,2006), h.33
[7] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,1988), h. 66
[8] Bansi Pandit, Pemikiran Hindu (Surabaya: Paramita, 2006), h.27.
[9] Bansi Pandit, Pemikiran Hindu (Surabaya: Paramita, 2006), h. 27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar