FILSAFAT MIMAMSA
Rini Farida
1111032100057
A.PENDAHULUAN
Hindu tidak hanya kaya akan konsep ketuhanan tetapi juga kaya akan konsep
filsafat yang dikenal sebagai sad darsana atau enam cabang filsafat dimana
masing-masing filsafat memberikan penggambaran akan Tuhan yang pada akhirnya
bertujuan untuk mengajarkan bagaimana mencapai Brahman atau Tuhan.
Darsana identik dengan “visi kebenaran” yang satu dengan yang lainnnya saling
terikat. Filsafat Hindu memiliki karakter khusus yang menonjol yaitu kedalaman
dalam pembahasannya, yang mencerminkan bahwa filsafat itu telah dikembangkan
dengan sepenuh hati dalam mencari kebenaran. Semangat pembahasan
yang menyeluruh dari konsep yang nampak berbeda lebih dihargai karena memiliki
ketelitian dan kesempurnaan yang dicapai kebanyakan aliran pemikiran India.
Apabila kita membuka karya lengkap mengenai Vedanta, kita akan menemukan
pernyataan dari pandangan seluruh aliran filsafat seperti Carvaka, Bauddha,
Jaina, Saiikhya, Yoga, Mimamsa, Nyaya dan Vaisesika, yang dibicarakan dan
dipertimbangkan dengan ketelitian penuh tanpa ada kesan menyalahkan satu dengan
yang lain; demikian pula halnya karya agung mengenai filsafat Bauddha atau
Jaina, juga membicarakan pandangan filsafat lainnya. Sudah barang tentu kita
akan mendapatkan bahwa banyak permasalahan dari filsafat Barat kontemprorer
dibicarakan dalam sistem filsafat India. Disamping itu, kita mendapatkan bahwa
para sarjana pribumi dengan dasar pendidikan menyeluruh dalam filsafat India,
akan mampu menangani berbagai masalah filsafat bahkan permasalahan filsafat
Barat yang rumit sekalipun dengan ketrampilan yang mengagumkan.
Filsafat Hindu bukan hanya
merupakan spekulasi atau dugaan belaka, namun ia memiliki nilai yang amat
luhur, mulia, khas dan sistematis yang didasarkan oleh pengalaman spiritual
mistis dan spiritual. Filsafat ini merupakan hasil kepekaan intuisi yang luar
biasa. Sad darsana yang merupakan 6 sistem filsafat hindu, merupakan 6 sarana
pengajaran yang benar atau 6 cara pembuktian kebenaran.
Adapun bagian-bagian dari Sad Darsana adalah :
- Nyaya,
pendirinya adalah Gotama dan penekanan ajarannya ialah pada aspek logika.
- Waisasika,
pendirinya ialah Kanada dan penekanan ajarannya pada pengetahuan yang
dapat menuntun seseorang untuk merealisasikan sang diri.
- Samkhya,
menurut tradisi pendirinya adalah Kapita. Penekanan ajarannya ialah
tentang proses perkembangan dan terjadinya alam semesta.
- Yoga,
pendirinya adalah Patanjali dan penekanan ajarannya adalah pada
pengendalian jasmani dan pikiran untuk mencapai Samadhi.
- Mimamsa (Purwa-Mimamsa), pendirinya ialah Jaimini
dengan penekanan ajarannya pada pelaksanaan ritual dan susila menurut
konsep weda.
- Wedanta
(Uttara-Mimamsa), kata ini berarti akhir Weda. Wedanta merupakan puncak
dari filsafat Hindu. Pendirinya ialah Sankara, Ramanuja, dan Madhwa.
Penekanan ajarannya adalah pada hubungan Atama dengan Brahma dan tentang
kelepasan.
Ke-6 bagian-bagian dari Sad Darsana diatas merupakan
secara langsung berasal dari kitab-kitab Weda, kalau diibaratkan masing-masing
bagian dari Sad Darsana itu merupakan jalan untuk menuju Tuhan. Dimana untuk
mencapai Tuhan kita harus melalui salah satu dari keenam jalan tersebut. Memang
jalan yang kita lalui berbeda-beda namun setiap jalan mampunyai tujuan yang
sama yaitu menghilangkan ketidak tahuan dan pengaruh-pengaruhnya berupa
penderitaan dan duka cita, serta pencapaian kebebasan, kesempurnaan, kekekalan
dan kebahagiaan abadi.
B. MIMAMSA
Adalah suatu keyakinan biasa pada
zaman Veda bahwa ucapan-ucapan Veda, dengan diterima sebagai yang tidak sesat
dan bebas dari kekeliruan dalam jalan apapun,
merupakan otoritas tertinggi untuk mengatur bagaimana orang menghayati hidup.
1. Pengertian
Secara etimologis, kata mimamsa berarti ‘bertanya’atau
penyelidikan[1].
bagian pertama dari filasfat ini disebut Purwa-Mimamsa
(Mimamsa), sedangkan bagian kedua disebut Uttara-Mimamsa (Vedanta). Mimamsa dan vedanta juga seringkali dijadikan satu pasangan. Sistem Mimamsa-Vedanta adalah dua bagian dari
satu filsafat yang mewakili unsur paling ortodoks dari tradisi Weda. Kedua
sistem ini menjelaskan perkembangan, tujuan, serta ruang lingkup teks Weda.
Filsafat Mimamsa yang akan dibahas adalah Purwa
Mimamsa, yang umum disebut dengan Mimamsa saja. Kata Mimamsa, berarti
penyelidikan yang sistematis terhadap Veda. Purwa Mimamsa secara khusus
mengkaji bagian Veda, yakni kitab-kitab Brahmana dan Kalpasutra, sedang bagian
yang lain (Aranyaka dan Upanisad) dibahas oleh uttara Mimamsa yang dikenal pula
dengan nama yang populer, yaitu Vedanta. Purwa Mimamsa sering disebut Karma
Mimamsa, sedang Uttara Mimamsa disebut juga Jnana Mimamsa.
Mimamsa, sedang Uttara Mimamsa disebut juga Jnana Mimamsa.
2. Sejarah Singkat
Tentang Mimamsa
Sebagai tokoh aliran Mimamsa ialah Jaimini yang hidup
antara abad 3-2 SM dengan ajaran pokok yang diuraikan dalam kitab
Mimamsa-Sutra. Dalam jaman kemudian ajaran dalam mimamsa-sutra dikomentari oleh
para pengikutnya seperti : Sabaraswamin sekitar abad ke 4 Masehi dan
Prabhakarya sekitar tahun 650. Serta yang terakhir oleh Kumarila Bhata sekitar
tahun 700. Oleh karena itu dalam perkembangan selanjutnya terjadilah dua aliran
dalam Mimamsa yaitu disatu pihak pengikut Prabhakara dan yang lainnya adalah
pengikut Kumarila Bhata. Kedua aliran ini tetap berpegang pada pokok ajaran
Mimamsa walaupun tujuan mereka masing-masing ada perbedaan.[2]
3.
Ajaran Dalam Filsafat
Mimamsa
Pokok
pembicaraan di dalam Mimamsa ialah peneguhan kewibawaan kitab Weda dan pembuktian bahwa kitab Weda
membicarakan upacara-upacara keagamaan. Oleh karena itu Mimamsa juga disebut Karma-Mimamsa.
Pada zaman Brahmana sudah dimulai
adanya pembicaraan-pembicaraan tentang bermacam-macam hal yang mengenai
upacara-upacara keagamaan, dan bahwa hasil dari pembicaraan-pembicaraan itu
lalu disusun secara sistematis, yang kemudian menimbulkan kesusateraan yang
disebut Kalpa-Sutra.
Ajaran Mimamsa dapat disebut pluralistis
dan realistis, artinya: Aliran ini menerima adanya kejamakkan jiwa dan
pergandaan asas bendani yang menyelami alam semesta ini, serta mengakui bahwa
obyek-obyek pengamatan adalah nyata[3].
Sendi utama teori pengetahuan Mimamsa
adalah pemahaman tentang keabsahan diri pengetahuan. tidak seperti teori
pengetahuan lain yang mempertahankan bahwa klaim-klaim pengetahuan diketahui
sebagai yang benar ketika mereka berhubungan dengan realitas, atau ketika
mereka menuntun orang kepada tindakan yang berhasil, atau ketika mereka berpadu
dalam satu sistem yang konsisten. Mimamsa menekankan bahwa kodrat pengetahuan
itulah yang memberi kesaksian terhadap dirinya sendiri. Keyakinan kita akan
kebenaran klaim yang ditunjuk pengetahuan dari kodratnya muncul sebagi satu sosok
pengetahuan itu sendiri.[4]
Mengenai alat atau cara untuk
mendapatkan pengetahuan Prabhakara mengajarkan lima cara, sedangkan Kumarila
Bhata mengajarkan enam cara termasuk yang diajarkan oleh Prabhakara. Keenam
cara itu ialah:
1.
Pengamatan (Pratyaksa)
2.
Penyimpulan (anumata)
3.
Kesaksian (Sabda)
4.
Perbandingan (Upamana)
5.
Persangkaan (Arthapatti)
6.
Ketiadaan (Anupalabdi)
Empat bagian diatas sama dengan apa
yang diterangkan dalam filsafat Nyaya. Bila keempat cara pertama tidak dapat
dipakai untuk mendapatkan pengetahuan (kebenaran) dari suattu peristiwa, maka
akanlah dipakailah cara persangkaan. Walaupun disadari bahwa cara ini perlu
dibantu dengan cara lain untuk memperoleh cara yang pasti.
Bila terlihat seseorang dalam keadaan
senyum dan mukanya berseri-seri, maka dapat diduga bahwa orang tersebut
mendapat sukses dalam usahanya.
Kemudian Ketidak adaan (Anupalabdhi)
termasuk cara yang diajarkan oleh Kumarila Bhata dan tidak termasuk diantara
cara dari Prabhakara. Ketidakadaan ini dapat diterangkan dengan suatu contoh,
misalnya: bila seseorang masuk dan mengamati sekeliling kamar dan mengatakan
tidak ada meja di dalam kamar. Dia tidak melihat meja karena memang tidak ada
meja di dalam kamar itu. Jadi orang
memiliki pengetahuan dalam hal ini karena ketidakadaan (anupalabdhi) dan
ketidakadaan itu memang tidak dapat diamati.
Diantara cara-cara tersebut didepan
maka Mimamsa memandang bahwa cara kesaksian (sabda) yang paling penting dan
utama. Karna kesaksian adalah pengetahuan yang berasal dari kata-kata atau
kalimat-kalimat. Namun sebagai satu sarana pengetahuan yang sah, kesaksian
menunjuk hanya pada klaim-klam verbal yang berasal dari sumber yang dapat
dipercayai dan dimengerti secara benar.
Dalam hal ini adalah kesaksian kitab
weda. Wedalah kebenaran yang tertinggi dan Weda pula sumber pengetahuan yang
sempurna. Tidak seperti beberapa sistem yang lain, Mimamsa tidak percaya akan
satu pencipta dunia atau satu pengarang ilahi kitab Weda. Sebaliknya, Weda
merupakan perwahyuan langsung dan kekal dari realitas itu sendiri.[5]
4.
Weda Dan Dharma
Yang menjadi tujuan pokok Mimamsa
adalah : Menyusun aturan dan teknik untuk menerangkan ajaran Weda terutama
tentang pelaksanaan Dharma. Yang dimaksud dengan dharma disini adalah upacara-upacara
keagamaan yang bersumber pada Weda, termasuk pula tuntunan kesusilaan. Dalam
prakteknya Mimamsa sangat mengutamakan kesusilaan karna dinyatakan bahwa orang
yang kotor secara kesusilaan sangat sulit dibersihkan melalui Weda. Kebersihan
dalam kesusilaan merupakan syarat mutlak
didalam pelaksanaan upacara. Karna menurut Mimamsa dharma tidak menghasilkan
buahnya secara langsung, melainkan
dengan pelantaraan, artinya : sekalipun orang melaksnakan segala upacara
keagamaan dengan betul dan berdasarkan kemurnian kesusilaa, ia tidak langsung
memeetik buahnya perbuatan itu. Hal ini terlebih-lebh berlaku bagi apa yang
dianggap sebagai hasil tertinggi segala korban , yaitu sorga. Hasil ini baru
akan dicapai setelah orang meninggal dunia.
Menurut Weda, dharma meliputi dua macam tindakan yaitu tindakkan yang diwajibkan,
baik berlaku pada umumnya, maupun yang berhubungan dengan upacara-upacara
berkala, dan tindakkan yang tidak diwajibkan, yang fakultatip.
Mula-mula Mimamsa mengajarkan, bahwa
tujuan hidup manusia yang terakhir ialah mencapai sorga, akan tetapi kemudian
Mimamsa menyesuaikan diri dengan sistim-sistim yang lain, yaitu Moksa (kelepasan).
Jalan untuk mendapatkan kelepasan
adalah pelaksanaanupacaraaupacara keagamaan seperti yang diajarkan oleh kitab
Weda, yaitu tindakan-tindakan yang diwajibkan dan menjauhkan diri dari
perbuatan yang terlarang. Karena keinginan yang berlebih-lebihan untuk
mempertahankan kebebasan dan keutuhan Weda, Mimamsa tidak memberikan tempat
tempat kepada Tuhan di dalam sistimnya. Weda tidak memiliki penyusun, baik
manusia maupun Tuhan di dalam sistimnya. Seandainya dunia ini dijadikan oleh
Tuhanyang mahakuasa dan maha pemurah, tidaklah mungkin di dalam dunia ada
kesengsaraan. Dunia tidak dijadikan Tuhan, sebab dunia ini tidak berawal dan
tidak berakhir. Tidak ada penciptaandan tidak ada peleburan dunia. Tidak ada
waktu dimana akan ada dunia yang lain daripada dunia sekarang ini. Oleh karena
itu juga tiada Tuhan. Bahkan dewa-dewa, yang kepadanya mula-mula korban-korban
dipersembahkan apakah ada dewa atau tidak, bukan soal yang penting.
Arti sistim Mimamsa ialah bahwa sistim
ini menyusun aturan-aturan untuk menjelaskan Weda. Hal ini memang perlu sekali[6].
5.
Tentang Alam
Berbicara mengenai alam semesta Mimamsa
mengatakan bahwa alam ini real dan kekal serta terjadi atom-atom yang kekal
pula. Alam ini tidak dibuat oleh Tuhan karena alam ini ada dengan sendirinya.
Kedua aliran Mimamsa baik Prabhakara maupun Kumarila Bhata sama-sama
mengajarkan adanya empat unsur di alam ini yaitu : Substansi, kualitas,
aktifitas dan sifat umum.
Substansi menurut Prabhakara terdiri
dari sembilan (9) yaitu:
a.
Bumi f.
Akal
b.
Air g.
Pribadi
c.
Api h.
Ruang
d.
Hawa i.
Waktu
e.
Akasa
Sedangkan Kumarila Bhata mengajarkan
ada sebelas (11) bagian substansi yaitu sembilan yang diajarkan oleh Prabhakara
dan ditambah dengan unsur lagi yaitu : kegelapan (tamasa) dan suara (sabda).[7]
Substansi, kualitas dan sifat umum
sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dan dibedakan secara mutlak walaupun
ketiga-tiganya mewujudkan satu kesatuan yang bulat. Dan substansi-substansi ini
bukan terdiri dari atom-atom yang tidak dapat diamati. Hal itu disebabkan
karena kitab Weda tidak menyatakan hal demikian itu. Bagian-bagian substansi
dapat dapat diamati juga, seperti debu yang tampak di dalam sinar matahari.
C. DAFTAR PUSTAKA
Adiputra, I Gede Rudia, Tattwa Darsana, Yayasan Dharma sarathi, Jakarta:
1990
Ali, Matius. Filsafat India. Sanggar Luxor, ____, 2010
Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat India, Gunung Mulia. Jakarta: 1985
Koller, John M. Filsafat Asia, Ledalore, Flores: 2010
[1] Ali, Matius. Filsafat india,
hal. 89
[2] Adiputra, Gede Rudia. Tattwa
Darsana. hal. 36
[3] Harun Hadiwijono. Sari Filsafat
India. hal. 77
[4] John M. Koller. Filsafat Asia.
hal. 152
[5] John M. Koller. Filsafat Asia.
hal. 155
[6] Harun Hadiwijono. Sari Filsafat
India. hal. 80
[7] Adiputra, Gede Rudia. Tattwa
Darsana. hal. 40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar