PERIODISASI
SEJARAH AGAMA HINDU
Ida zubaedah
(1111032100032)
Pendahuluan
Agama Hindun timbul dari dua arus utama
yang membentuknya, yaitu agama (bangsa) Dravida
danaagama(bangsa)Arya.dalamperkembangannya di India lalu ada usaha-usaha yang
mempesonahkan untuk memasukan berbagai macam kepercayaan yang ada, filsafatnya,
dan praktek-praktek keagamaannya dalam suatu sistem yang sekarang ini disebut
dengan Agama Hindu.
Agama bangsa Arya kita kenal dari
kitab-kitabnya yang mengenai agamanya, yakni kitab-kitab Weda (Weda artinya
tahu). Oleh karena itu masa yang tertua dari agama Hindu disebut masa Weda.
Dalam tulisan kali ini penulis ingin sedikit memaparkan tentang zaman Weda
secara garis besar yag dibahas kali ini Dewa-dewa, Roh-roh (jahat), Korban, dan
praktek keagamaan.
1.
Zaman
Weda
Zaman ini dimulai dari datangnya bangsa
Arya kurang lebih 2500 tahun sebelum masehi ke India, dengan menempati lembah
sungai Sindhu, yang juga dikenal dengan nama punyab (daerah lima
aliran sungai). Bangsa Arya tergolong ras Indo Eropa, yang terkenal sebagai
pengembara cerdas, tangguh dan trampil.[1]
Zaman Weda merupakan zaman penulisan
wahyu suci Weda yang pertama yaitu Rigweda. Kehidupan beragama pada zaman ini,
didasarkan atas ajaran-ajaran yang tercantum pada Weda Samitha, yang lebih
banyak menekankan pada pembacaan pelafalan ayat-ayat Weda secara Oral, yaitu
dengan menyanyikan dan mendengarkan secara berkelompok. Weda adalah kitab suci
Agama Hindu. Sumber ajaran Agama Hindu adalah kitab suci Weda. Semua ajarannya
bernafaskan Weda. Weda menjiwai ajaran agama Hindu, karena itu agama Hindu
mengakaui kewenangan ajaran kitab suci weda. Weda adalah wahyu atau sabda suci
Tuhan Yang Maha Esa/Hyang Widhi wasa,
yang diyakini oleh umatnya sebagai anandi
ananta yakni tidak berawal dan tidak diketahui kapan diturunkan dan berlaku
sepanjang masa. Namun demikian dikalangan srjana, baik Hindu maupun Barat telah
berikhtiar untuk menentukan kapan sebenarnya Weda itu diwahyukan.[2]
Kehidupan keagamaan umat Hindu
didasarkan pada naskah suci yang disebut Weda Samhita,yang mereka yakini
sebagai ciptaan Brahma.[3]
Hanya para resi saja yang mampu menerima isi Weda tersebu. Isi Weda pada
mulanya berbentuk mantra-mantra, kemudian disusun dalam bentuk puji-pujian.
Kitab suci Weda terdiri dari empat Samhita, yaitu:
Ø Rigweda. Rigweda berasal dari kata “Rig” yang
berarti memuji. Kitab ini berisi 1000 puji-pujian kepada dewa dalam bentuk
Kidung, dan masing-masing Kidung (sukta) terbagi lagi dalam beberapa Bait.
Bagian akhir Rigweda membicarakan perawatan orang mati, pembakarannya dan pengamburannya
menurut umat Hindu, Rigweda ini sangat penting di dalamnya terdapat pengertian
dan isyarat akan Agama mamoteistis dengan falsafah yang monistik [Itulah yang
maha Esa. Orang-orang suci memberinya agama yang bermacam. Mereka menyebutnya
dengan Agni Yama dan Matariwan (Rigweda I, 164:44)].
Ø Samaweda. Samaweda merupakan suatu bunga-rampai
Rigweda, dan sangat menekankan pada tanda-tanda irama music. Samaweda terdiri
dari 1549 bait. Puji-pujian dinyanyikan diikuti irama music oleh para pendeta
yang disebut Udgatr, dan biasanya dilakukan pada upacara korban
diselenggarakan.
Ø Yajurweda. Weda ini tidak hanya mnemuat
mantra-mantra dan persembahan soma saja, akan tetapi mantra-mantra yang
diucapkan dalam beberapa upacara kecil. Yajurweda memiliki hubungan yang sangat
erat dengan Rigweda dan Samaweda, dan ketiga-tiganya sering disebut dengan Triwedi.[4]
Ø Atharwaweda. Para atharwan adalah golongan pendeta
tersendiri. Dalam weda ini dijumpai kidung-kidung yang harus di ucapkan pada
waktu mempersembahkan soma. Isi
Atharwaweda berupa mantra-mantra magis dan doa-doa yang bunyi dan artinya
sendiri dianggap sudah memiliki kekuatan.
Dalam
kitab-kitab Weda tidak terdapat uraian mengenai doktrin-doktrin maupun
amalan-amalan ajaran Hindu yang khas. Tidak ada pemujaan terhadap patung, tidak
ada hal-hal yang berhubungan dengan ritus permandian di sungai-sungai yang
dianggap suci, tidak ada uraian tentang pertapaan di hutan, dan tidak ada
praktek yoga maupun pertarakan, juga tidak ada ajaran avatara atau penjelmaan.[5]
Weda sebagai sumber ajaran agama Hindu terdiri dari kitab Sruti dan Smrti.
Sruti adalah wahyu sedangkan Smrti adalah kitab yang menguraikan
komentar, penjelasan atau tafsir terhadap wahyu. Materi weda diuraikan pada Sruti
dan smrti. Sruti menurut sifat dan isinya dibedakan atas 4 bagian
: [6]
1)
Mantra
2)
Brahmana
3)
Aranyaka
4)
Upanisad
A.
Dewa-dewa
Dewa-dewa
yang dipercayai kedudukannya lebih tinggi, karena bersikap murah pada manusia
dan berkenan menerima pujaan dan pujian manusia. Dewa-dewa salalu dihadirkan
dalam me-nyelamatkan dari gangguan-gangguan roh jahat. Mengenai Dewa-dewa dalam
Rig Weda disebutkan ada 33 Dewa, dibedakan atas : Dewa-dewa langit, Dewa-dewa
Angkasa, Dewa-dewa Bumi.[7]
Dewa-dewa
langit antara lain adalah Dewa Waruna, yang dipandang sebagai pengawas tata
dunia atau Rta. Akibat karya dewa Waruna maka langit teratur, sungai-sungai
mengalir dengan baik dan musim-musim datang pada waktunya. Dewa Waruna
memberikan hadia kepada yang mengikuti Rta dan hukuman kepada yang jahat.
Selain Waruna juga Dewa Surya dan Dewa Wisnu termasuk Dewa langit. Dewa Surya
diyakini dapat memperpanjang hidup dan mengusir penyakit. Dewa Surya
digambarkan sebagai menaiki kereta dapat melangkah tiga langkah. Langkahnya
yang ke tiga dipandang tertinggi, sebagai surga tempat kedamain para Dewa.[8]
Dewa-dewa
angkasa antara lain Dewa indra dan dewa Angin. Dewa Indra sering disebut dengan
Dewa perang dan mendapat kehormatan yang besar sekali, sebab sering membantu
manusia dalam perang. Dewa Indra digambarkan bersenjata panah/wajra. Dewa angin
dipandang sebagai Dewa yang penting.
Yang
termasuk Dewa-dewa bumi adalah Dewa Pertiwi, dan Dewa Agni. Dewa Pertiwi adalah
Dewa bumi yang sering disembah sebagai Dewa Ibu. Dewa Agni juga disebut Dewa
Api, yang sering dianggap sebagai perantara antara manusia dan Dewa Agnilah
yang meneruskan puji-pujian dan korban bakar kepada para Dewa yang dimaksud.
Agni pula yang mendatangkan para Dewa ke tempat-tempat saji dengan
bunyi-bunyian dalam Api. Setiap rumah orang Hindu biasanya mempunyai tiga macam
api, yaitu api untuk upacara harian (agnihotra), seperti yang sampai
saat ini masih terdapat di kalangan keluarga pandit yang ortodoks; api yang
untuk upacara tengah bulanan yang dikaitkan dengan bulan baru atau bulan
purnama; dan api untuk upacara penghormatan dean pemujaan arwah leluhur. [9]
Kemudian
Dewa Soma, Dewa minuman keras soma yang diperoleh dari perasan tumbuh-tumbuhan
yang disebut soma pula. Soma adalah minuman para Dewa. Dalam upacara korban,
soma dituangkan sebagai persembahan untuk para Dewa. Hal yang agak aneh ialah
bahwa rasa hormat yang luar biasa bukannya yang ditujukan kepada objek ritus
itu sendiri tetapi hanya kepada kekuatan soma itu saja.
Ada
beberapa Dewa lain yang masing-masing kurang jelas urutan kepentingannya.
Dewa-dewa tersebut adalah Surya (Dewa matahari), Wisnu,sikembar Aswin atau
Nasatya (Dewa alam pagi hari) yang kemudian menjadi dewa kesehatan, Usas
(dianggap sebagai Dewa fajar), Marut (Dewa taufan dan angin ribut), Rudra (Dewa
taufan dan petir), parjanya (Dewa pengetahuan)). Dewa-dewa penting sebagai
personifikasi kekuatan alam adalah cipta, Brhamananaspati atau Brahaspati (Dewa
personifikasi perbuatan manusia alam sesaji), dan Widhatar (Dewa Guntur).[10]
Sekalipun dalam
agama ini didapati banyak sekali Dewa, namun mereka tidak dapat dikatakan
politeistis karena ternyata Dewa tertinggi yang memiliki segala kekuasaan para
Dewa yang lain. Dengan demikian hanya ada satu Dewa tertinggi saja yang
memiliki segala kekuatan para Dewa, yang namanya berganti-ganti. Oleh karena
itu barangkali lebih tepat kalau dikatakan sebagai kepercayaan henoteisme
(henoteisme). Max Mller juga menghindari pemakain istilah monoteisme atau
politeisme dalam ketuhanan agam Hindu. Mereka menggunakan istilah “henoteisme”
karena ada kecendrungan melukiskan semua kekuatan pada Tuhan tertentu dan utama
yang ada dalam pikiran para pemujanya. Selain dapat disebut sebagai kepercayaan
sebagai heneoteistik, barang kali agama ini dapat pula disebut sebagai
katenoteisme (khathenotheisme) karena dalam agam ini terdapat kecendrungan
untuk memuliakan dan mengagungkan hanya satu Dewa yang maha tinggi yang
diperlukan sebagai obyek tunggal. Akan tetapi Dewa-dewa lain terhimpun
kepadanya.
B.
Roh-roh
(jahat)
Menurut
kepercayaan Weda kuno, selain para Dewa masih ada lagi roh-roh jahat. Roh jahat
ada dua macam : yang tinggi kekuasaannya menjadi musuh para Dewa. Musuh Indra
adalah roh jahat yang menguasai musim kemarau (Wrta). Roh jahat yang kurang
kekuasaannya adalah Raksa dan pisaca (pemakan bangkai). Raksa sering menampakan
diri sebagai manusia dan binatang. Ada lagi roh “hais” seperti Gandarwa,
Yaksa, Bhatu dan Raksasa.
Arwah
leluhur sangat penting kedudukannya dalam kepercayaan agama Weda ini. Apabila orang
meninggal, jiwanya tidak langsung sampai di alam bahagia tetapi masih mengembara
dalam keadan menderita. Jiwa semacam ini disebut dengan preta, dan
sangat membahayakan. Oleh karena itu keturunannya, anak cucu terutama anak
laki-lakinya, perlu mengadakan upacara sesembahan dan menyelenggarakan upacara
korban supaya petra segera sampai kealam bahagia yaitu alam pitara.
Raja para pitara adalah Dewa Yama.
C.
Korban
Umat Weda
memuliakan para leluhur mereka dengan menyelenggarakan upacara korban, yamg
selain dilakukan dengan harapan supaya para Dewa melindungi manusia dari gangguan
roh jahat, juga supaya para Dewa memberikan kelancaran, kemurahan dan
ketenangan serta ketentraman. Tujuan utama melakukan upacar korban dalam agama
Weda ini ialah terjaminnya tata tertib kosmos. Pelaksanaan korban dipimpin oleh
pendeta yang mebujuk dan merayu para Dewa untuk mengabulkkan permohonan
manusia. Selain itu masih ada korban Rajasuya, korban untuk penobatan dan
kedaulatan raja yang diselenggarahkan dengan upacra yang disebut Aswameda.
Korban-korban ini disertai dengan pengucapan doa-doa yang tersebut dalam
Rigweda, irama musik yang diselingi bunyi seruling, makan atau pesta bersama,
dan diakhiri dengan pengucapan doa untuk kesejahteraan dan kemakmuran
bersama.untuk keperluan sehari-hari korban oleh kepala keluarga Dari segi
penyelenggaraan.
korban yang dilakukan hanya seorang pendeta
saja dirasa kurang memuaskan. Oleh Karen itu biasanya korban diselenggarahkan
oleh beberapa orang pendeta. Pendeta yang sangat diutamakan biasanya disebut Hotri yang tugasnya adalah menyetir
bait-bait yang terdapat dalam Rigweda. Pendeta Adwaryu juga penting
karena dalam penyelenggaraan korban ini dilakukan persiapan-persiapan yang
cermata. Ia menunggu api supaya tidak padam dan menyiapkan beberapa macam
makanan yang di perlukan. Para Brahmana mengawasi penyelenggaraan korban
tersebut. Selama upacara koban berlangsung, kidung-kidung dinyanyikan oleh Udgrati.
Upacara korban sehubungan dengan peristiwa suci disebut Samsakara, dan
biasanya dilakukan oleh ketiga kasta atas. Yang terpenting adalah upacara-upacar
korban yang berkaitan dengan masalah kematian.
Ada pula upacara korban yang diselenggarakan
bersama oleh masyarakat dibantu pejabat lain.korban diselenggrakann di
rumah-rumah atau di altar. Benda yang dipersembahkan biasanya adalah
benda-benda yang disukai oleh manusia seperti susu; ghee dan kue-kue yang
terbuat dari gandum atau beras. Kalu korban terseburt berupa bintatang, maka
daging korban tersebut tidak mereka makan. Menurut Robert D. Baird dan Alfred
Bloom, korban binatang ini merupakan bukti korgban manusia yang pasti
diterimaoleh para Dewa.[11]
D.
Praktek
keagamaan
Dua macam
upacara simbolok yang penting ialah : pertama korban manusia (purusa) sebagaimana
tercantum dalam kidung kosmogonik dalam Rigweda, yang menyebutkan bahwa yang
maha tinggi telah menjalani korban sarwameda di mana manusia mengakui
kemahakuasaan Tuhan secara universal sehingga kemudian Dewa melimpahkan segala
miliknya kepada seluruh manusia.
Dikalangan
rakyat umum terdapat beberapa upacara korban sebagai upacara siklus kehidupan.
Dibeberapa tempat, upoaca tersebut terdiri dari satu seri upacara korban kecil
dengan sesaji yang sangat sederhana seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Upacara dilakukan sendiri oleh pemilik ruma hselaku penaggungjawab anggota
keluarganya. Upacar ini juga mementingkan api.[12]
Yang
menjadi pusat pemujaan orang-orang ini adalah korban. Korban-korban itu
dipersembahkan dengan maksud untuk mendapatkan kemurahan dewa-dewa menghindari
diri dari permusuhan roh-roh yang jahat, dan emuja para leluhur. Pada
hakikatnya korban yang dipersembahkan kepada Dewa-dewa it bersifat permohonan,
yaitu memohon keuntungan-keuntunganbagi hari depan, sehingga korban ucapan
syukur bagi hal-al yang sudah dialaminya tidak ada.
Ada dua
maca korban, yaitu korban tetap, yang dilakukan tiap kali, pada waktu pagi dan
sore, tiap bulan baru dan bulan purnama, tiap awal musim semi, musim hujan, dan
musim dingin. Disamping tu ada orban berkala, yang dikorbankan jika ada
keperluan, umpamanya korban soma, aswameda, atau koban kuda, rajasuya,
dan sebgainya. Kecuali korban-korban masih ada upacara-upacara lainnya yang
harus dilakukan orang, yaitu pada waktu istri mengandung, melahirkan anak, anak
berumur 4 bulan, yaitu waktu diajak berpergianuntuk pertama kali, atau juga
waktu anak makan yang pertama, atau waktu ia dicukur untuk yang pertama kali,
dan sebagainya. Demikuanlah seluruh kehidupan orang pada zaman iitu meliputi
oleh upacar-upacara keagamaan.[13]
DAFTAR PUSTAKA
Thalhas, Pengantar Study Ilmu
Perbandingan Agama. Jakarta: Galura Pase, 2006
Mahmoud, Abbas, Ketuhanan Sepanjang
Ajaran Agama-agama dan pemikiran Manusia, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Ali, Mukti, Agama-agama Di Dunia,
Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga press, 1988
Direktor Jendral Bimbingan Masyarakat
Hindu, Dasar-dasar Agama Hindu, Jakarta: kementrian Agama Republik
Indonesia, 2010
Hadiwijono, Harun, Sari Filsafat
India, Jakarta: Gunung Mulia, 1989
Honig, Ilmu Agama, Jakarta:
Gunung Mulia, 2009
Hadiwijono, Harun, Agama Hindu dan
Budha, Jakarta: Gunung Mulia, 2008
Djam’annuri, Agama Kita: Perspektif
Sejarah Agama-agama, Yogyakarta, 2002
Ana Yuliana dan Yudi Irawan, Agamaku
Agamamu, Bandung: Sidqah Semesta, 2007
[1]
Direktor Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu, Dasar-Dasar Agama Hindu (Jakarta:kementrian Agama Republik Indonesi, 2010),h. 6
[2]
Direktor Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu, Dasar-Dasar Agama Hindu (Jakarta:Kementrian Agama Republik
Indonesia, 2010),h. 6
[3]
Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 60
[4]
Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia
(Yogyakarta :IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 61
[5] Hanafih,
Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama-Agama
dan pemikiran Manusia (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1973),h. 60
[6] Thalhas,
Pengantar Study Ilmu Perbandimgan Agama ( Jakarta: Galura Pase, 2006),h. 57
[7] Mukti
Ali, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 63
[8] Harun,
Hadiwijono, Agama Hindu dan Budha (Jakarta: Gunung Mulia, 2010)
[9] Harun,
hadiwijono, Sari Filsafat India ( Jakarta: Gnung Mulia, 1989 ),h. 14
[10] Honig,
Ilmu Agama ( Jakarta: Gunung Mulia, 2009 ),h. 82
[11] Honig,
Ilmu Agama ( Jakarta: Gunung Mulia, 2009 ),h. 83
[12] Harun,
hadiwijono, Agama Hindu dan Budha ( Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2008
), h. 20
[13] Djam’annuri,
agama kita:Perspektif Sejarah Agama-agama ( Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta,
2002), h. 45, cet II
Tidak ada komentar:
Posting Komentar